Rahasia Allah dalam Menurunkan Adam ke Bumi –
Sesungguhnya, Allah SWT menurunkan Adam a.s., bapak manusia, dari surga
adalah karena hikmah-hikmah yang tidak mampu dipahami akal dan tidak
bisa diungkapkan dengan kata-kata. Karena turunnya Adam a.s. dari surga
merupakan esensi kesempurnaan-Nya agar dia kembali ke surga dalam
kondisi yang terbaik.
Allah SWT ingin membuat Adam dan
keturunannya merasakan kehidupan dunia dengan segala kesusahan,
keresahan, dan kesulitan di dalamnya, yang semua itu menjadi standar
masuknya mereka ke surga di akhirat kelak. Dan, kebaikan sesuatu akan
tampak melalui lawannya.
Seandainya mereka hidup di surga, maka
mereka tidak akan dapat mengetahui agungnya surga. Allah SWT ingin
memerintah, melarang, dan menguji mereka, sedangkan surga bukanlah
tempat untuk menerima beban taklif (paksaan), karena itu Allah
menurunkan mereka ke bumi.
Allah SWT menawarkan kepada mereka
sebaik-baik balasan, yang tidak mungkin diperoleh tanpa ada perintah dan
larangan. Di samping itu, Allah SWT ingin memilih di antara mereka para
nabi, rasul, wali, dan syuhada yang Dia cintai serta mereka
mencintai-Nya. Maka, Allah SWT membaurkan mereka dengan musuh-musuh-Nya,
dan menguji mereka dengan musuh-musuh itu.
Tatkala mereka lebih memilih Allah SWT,
mengorbankan jiwa dan harta mereka demi keridhaan dan kecintaan-Nya,
maka mereka memperoleh kecintaan, keridhaan, dan kedekatan dengan-Nya,
yang tidak mungkin diraih tanpa pengorbanan tersebut. Kerasulan,
kenabian, syahid, cinta, marah, keberpihakan kepada wali-wali-Nya dan
membenci musuh-musuh-Nya karena Dia semata, merupakan derajat yang
paling mulia di sisi-Nya. Semua ini tidak mungkin terwujud kecuali
dengan cara yang telah diatur dan diputuskan-Nya. Yaitu, menurunkan Adam
a.s. ke bumi dan menjadikan kehidupannya serta kehidupan anak-cucunya
di dalamnya.
Allah SWT memiliki Asmaa’ul-Husnaa
(nama-nama yang indah). Di antaranya adalah al-Ghafuur, ar-Rahiim,
al-‘Afuww, al-Haliim, al-Khaafid, ar-Raafi’, al-Mu’izz, al-Mudzill,
al-Muhyi, al-Mumiit, al-Waarits, dan ash-Shabuur. Dan, pengaruh dari
Asmaa’ul-Husnaa tersebut pasti tampak. Maka dengan kebijaksanaan-Nya,
Adam dan keturunannya Dia turunkan ke alam ini, di mana pengaruh Asmaa
‘ul-Husnaa tersebut menjadi nyata. Di alam inilah Allah SWT mengampuni,
mengasihi, mengangkat, memuliakan, menghinakan, menyiksa, memberi, tak
memberi, melapangkan dan sebagainya bagi siapa saja yang Dia kehendaki
sebagai manifestasi dari asma dan sifat yang Dia miliki.
Allah SWT adalah al-Maalik, al-Haqq, dan
al-Mubiin (Maha Penguasa, Maha Benar, Maha Nyata). Al-Maalik adalah
Yang memerintah, melarang, memberikan ganjaran, memberikan hukuman,
menghinakan, memuliakan, meninggikan, dan merendahkan. Dengan demikian,
kekuasaan Allah SWT menghendaki diturunkannya Adam dan keturunannya ke
bumi, di mana hukum-hukum kekuasaan-Nya diberlakukan. Setelah itu,
mereka akan dipindahkan ke suatu tempat, yang di dalamnya terbukti
kesempurnaan kekuasaan-Nya tersebut.
Allah SWT juga menurunkan manusia ke
bumi, di mana keimanan kepada yang gaib dapat terwujud. Keimanan kepada
yang gaib adalah keimanan yang hakiki dan bermanfaat, berbeda dengan
keimanan hanya kepada yang tampak. Setiap orang percaya bahwa pada hari
kiamat hanya keimanannya yang bermanfaat.
Seandainya mereka tetap ditempatkan di
dalam surga, maka mereka tidak akan memperoleh tingkat keimanan kepada
yang gaib ini. Mereka pun tidak akan merasakan kelezatan dan kemuliaan
yang hanya dapat terwujud dengannya. Bahkan kelezatan dan kemulian yang
tersedia bagi mereka di surga, tempat kenikmatan itu, tidak seperti yang
akan mereka peroleh karena keimanan kepada yang gaib.
Allah SWT menciptakan Adam a.s. dari
segenggam materi yang diambil dari semua zat bumi. Bumi yang mengandung
zat baik, buruk, lapang, keras, mulia, dan jahat. Allah SWT mengetahui
bahwa di punggung Adam a.s. ada keturunannya yang tidak layak tinggal
bersamanya di surga sebagai alam kenikmatan. Karena itu, Allah SWT
menurunkannya ke bumi, di mana kebaikan dan keburukan dikeluarkan dari
tulang sulbinya.
Lalu Allah SWT memisahkan keduanya dan
masing-masing Dia tempatkan di tempat yang berbeda. Maka, Allah SWT
menjadikan orang-orang baik sebagai teman dan sahabat Adam a.s. di surga
kelak, dan menjadikan orang-orang yang jahat sebagai penghuni neraka,
tempat orang-orang yang menderita dan orang-orang jahat. Allah SWT
berfirman,
“Supaya Allah memisahkan golongan yang buruk dari yang baik dan menjadikan yang buruk itu sebagiannya di atas sebagian yang lain, lalu semuanya ditumpukannya dan dimasukkannya ke dalam neraka Jahanam. (Mereka itulah orang-orang yang merugi).” (al-Anfal: 37)
Karena Allah SWT tahu bahwa dari
keturunan Adam a.s. ada yang tidak layak tinggal bersamanya di surga,
maka Dia menurunkan Adam a.s. dan keturunannya ke tempat di mana
orang-orang yang tidak layak tinggal di surga itu dipisahkan, lalu
dimasukkan ke tempat yang sesuai dengan mereka. Semua itu terjadi karena
hikmah-Nya yang agung dan kehendak-Nya yang sempurna. Demikianlah
ketetapan Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.
Tatkala Allah SWT berfirman kepada para malaikat,
“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.”
Para malaikat pun bertanya,
“Mengapa Engkau hendak menjadikan khalifah di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau.” (al-Baqarah: 30)
Maka, Allah SWT menjawab pertanyaan itu dengan berfirman,
“Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (al-Baqarah: 30)
Kemudian Allah SWT pun menampakkan
ilmu-Nya kepada hamba-hamba dan malaikat-Nya. Dia menjadikan di atas
bumi ini orang-orang yang istimewa; yaitu para rasul, para nabi, dan
para wali. Juga orang-orang yang mendekatkan diri kepada-Nya dengan
mengorbankan jiwa melawan syahwat dan hawa nafsu demi cinta dan ridha
dari-Nya. Mereka meninggalkan semua yang mereka cintai untuk mendekatkan
diri kepada-Nya, mereka melawan hawa nafsu demi mencari keridhaan-Nya,
dan mereka mengorbankan jiwa dan raga demi menggapai cinta-Nya.
Maka, Allah SWT memberi mereka
keistimewaan dengan sebuah pengetahuan yang tidak dimiliki para
malaikat. Mereka selalu bertasbih dengan memuji-Nya siang-malam. Mereka
senantiasa menyembah-Nya meskipun hawa nafsu, syahwat, dan godaan jiwa
serta musuh-musuh mereka selalu merongrongnya.
Sedangkan para malaikat, mereka
menyembah Allah SWT tanpa ada tantangan yang menghadang, tanpa ada
syahwat yang menggoda, dan tanpa ada musuh yang semena-mena, karena
ibadah para malaikat kepada Allah SWT seakan menyatu dengan jiwa mereka.
Di samping itu, Allah SWT ingin menampakkan kepada hamba-hamba-Nya yang
beriman, perihal musuh-musuh-Nya, pembangkangan mereka, dan ketakaburan
mereka terhadap perintah-Nya. Allah SWT juga ingin menampakkan usaha
musuh-musuh-Nya itu dalam menentang keridhaan-Nya.
Dan sebelumnya, semua itu tersembunyi
dan tidak diketahui oleh bapak manusia dan bapak jin. Oleh karenanya,
Allah SWT menurunkan mereka ke bumi, dan di sana Dia memperlihatkan apa
yang sebelumnya hanya diketahui oleh-Nya. Maka, nyata dan sempurnalah
kebijaksaanan serta perintah-Nya, dan pengetahuan-Nya pun menjadi tampak
oleh para malaikat.
Allah SWT mencintai orang-orang yang
sabar, orang-orang yang berbuat baik, orang-orang yang bersatu untuk
berperang di jalan-Nya, orang-orang yang bertobat, orang-orang yang
bersih, dan orang-orang yang bersyukur. Kecintaan Allah SWT adalah
kemuliaan yang paling tinggi. Karena itu, dengan hikmah-Nya Dia
menempatkan Adam a.s. dan keturunannya di suatu tempat, di mana
kecintaan Allah SWT itu dapat terwujud. Dengan demikian, diturunkannya
Adam dan keturunannya ke bumi ini adalah nikmat yang paling tinggi bagi
mereka. Allah berfirman,
“Dan Allah menentukan siapa yang dikehendakinya untuk diberi rahmat dan Allah mempunyai karunia yang sangat besar.” (al-Baqarah: 105)
Allah SWT juga ingin mengambil dari
keturunan Adam orang-orang yang Dia bela, Dia kasihi serta Dia cintai,
dan mereka juga mencintai-Nya. Kecintaan mereka kepada-Nya merupakan
puncak kehormatan dan kemuliaan. Derajat yang mulia ini tidak mungkin
terealisasi tanpa adanya keridhaan dari-Nya dengan mengikuti
perintah-Nya, serta meninggalkan keinginan hawa nafsu dan gejolak
syahwat yang dibenci oleh-Nya, Zat yang mereka cintai. Maka, Allah SWT
menurunkan mereka ke bumi ini, di mana mereka menerima perintah dan
larangan untuk mereka taati. Sebab itu, mereka memperoleh kemuliaan
cinta dari-Nya. Itulah kesempurnaan hikmah dan kasih sayang-Nya, Dia
Yang Maha Baik lagi Maha Penyayang.
Karena Allah telah menciptakan
makhluk-Nya secara berjenjang dan berjenis-jenis, dan dengan hikmah-Nya
Dia mengutamakan Adam a.s. beserta keturunannya atas seluruh
makhluk-makhluk-Nya, maka Dia menjadikan penyembahan (‘ubudiyyah) mereka
kepada-Nya sebagai derajat yang paling mulia. Yaitu ‘ubudyiyah yang
mereka lakukan sesuai keinginan dan pilihan mereka sendiri, bukan karena
keterpaksaan.
Sebagaimana diketahui, Allah SWT telah
mengutus Jibril kepada Nabi saw. untuk memberinya pilihan; antara
menjadi seorang raja dan nabi, atau menjadi seorang hamba dan nabi. Lalu
Nabi saw. memandang Jibril seolah berkonsultasi kepadanya, dan Jibril
mengisyaratkan supaya beliau bersikap tawadhu. Kemudian beliau bersabda,
“Saya memilih menjadi seorang hamba dan nabi.”
Maka, Allah SWT menyebut beliau dengan
sifat kehambaan dalam tingkatnya yang paling mulia. Yaitu, ketika Allah
SWT menceritakan tentang isra’ beliau, tentang kewajiban dakwah beliau,
dan ketika Allah SWT mengajukan tantangan kepada musuh-musuh-Nya. Dalam
Al-Qur’an Allah SWT berfirman tentang isra’ Nabi saw.,
“Maha suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam.” (al-lsraa : 1)
Dalam ayat di atas Allah SWT menyebut
Nabi Muhammad dengan kata-kata hamba, bukan ‘rasul-Nya atau nabi-Nya’.
Ini merupakan sebuah isyarat bahwa ketika Nabi Muhammad saw. menunaikan
isra’ yang merupakan kehormatan tertinggi bagi seorang hamba, maka itu
kesempurnaan penghambaan beliau kepada Allah SWT.
Ketika menceritakan tugas beliau sebagai da’i (pendakwah) Allah SWT berfirman,
“Dan bahwa tatkala hamba Allah (Muhammad) berdiri menyembah-Nya (mengerjakan ibadah), hampir saja jin itu berdesak-desakan mengerumuninya.” (al-Jinn: 19)
Demikian juga ketika menantang
musuh-musuh-Nya untuk mengajukan alasan keraguan mereka terhadap
kerasulan beliau, Allah SWT berfirman,
“Dan jika kamu tetap dalam keraguan tentang Al-Qur’an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surah saja yang semisal Al-Qur’an itu.’ (al-Baqarah: 23)
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam
Bukhari dan Imam Muslim tentang syafaat Nabi saw. dan penolakan para
nabi untuk memberi syafaat serta perkataan Almasih a.s.,
“Pergilah kepada Muhammad, seorang hamba yang telah diampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan yang akan datang”, menunjukkan bahwa Nabi Muhammad saw memperoleh kedudukan yang paling agung ini, karena kesempurnaan penghambaan beliau dan sempurnanya pengampunan Allah SWT atas beliau.
Jika kehambaan (‘ubudiyyah) di sisi
Allah SWT memiliki kedudukan yang sedemikian rupa tingginya, maka
hikmah-Nya menghendaki untuk menempatkan Adam a.s. dan keturunannya di
suatu tempat, yang di dalamnya mereka memperoleh kedudukan tinggi
tersebut yang bisa dicapai dengan kesempurnaan ketaatan dan kedekatan
mereka kepada Allah SWT, serta karena kecintaan Allah SWT kepada mereka.
Juga karena mereka meninggalkan segala yang mereka suka demi
kecintaannya kepada Allah SWT. Inilah kesempurnaan nikmat dan kebaikan
Allah SWT kepada mereka.
Allah SWT juga ingin mengetahui
hamba-hamba-Nya yang berhak menerima kesempurnaan dan keagungan
nikmat-Nya, supaya cinta, rasa syukur, dan kelezatan nikmat yang mereka
rasakan semakin besar. Karena itu, Allah memperlihatkan kepada mereka
tindakan-Nya terhadap musuh-musuh-Nya, serta azab dan kepedihan yang
dipersiapkan untuk musuh-musuh tersebut.
Dan di sisi lain, Allah memperlihatkan
kepada hamba-hamba-Nya yang beriman, bahwa mereka dibebaskan dari azab
dan siksa, serta kekhususan yang mereka peroleh berupa nikmat dan
kecintaan yang paling tinggi; cinta-Nya kepada hamba-hamba-Nya. Itu
semua agar kebahagiaan mereka semakin bertambah, kebanggaan mereka
sempurna, dan kegembiraan mereka semakin besar.
Semua itu tidak akan berlaku kecuali
dengan menurunkan mereka ke bumi, di mana mereka diuji dan dicoba. Dan
di bumi inilah Dia memberikan taufik kepada siapa yang Dia kehendaki
sebagai bukti kasih sayang dan kemurahan-Nya. Di bumi ini juga Dia
menelantarkan orang-orang yang Dia kehendaki sebagai bukti kebijaksanaan
dan keadilan-Nya. Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Tidak disangsikan bahwa jika seorang
menyaksikan musuhnya atau orang yang dekat dengannya merasakan berbagai
macam siksa dan kepedihan, sedangkan ia bergelimang dengan berbagai
jenis nikmat dan kelezatan, maka kegembiraannya akan semakin bertambah
serta kelezatan dan nikmat yang ia rasakan semakin besar dan semakin
sempurna.
Allah SWT menciptakan makhluk-Nya adalah untuk beribadah kepada-Nya, dan itulah tujuan penciptaan mereka. Allah berfirman,
“Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah kepada-Ku.” (adz-Dzaariyaat: 56)
Dan, dimaklumi bahwa kesempurnaan ibadah
yang dituntut dari manusia tidak dapat terealisasi dalam surga; sebagai
tempat kenikmatan yang abadi. Karena surga sebagai tempat kelezatan dan
kenikmatan, bukanlah tempat untuk mendapatkan cobaan, ujian, dan beban.
Akan tetapi, kesempurnaan ibadah tersebut hanya dapat terealisasi di
bumi; tempat cobaan dan ujian.
Hikmah Allah SWT juga menghendaki agar
Adam a.s. dan keturunannya mempunyai struktur tubuh yang sarat dengan
dorongan hawa nafsu dan fitnah, serta dibekali akal dan ilmu. Allah SWT
menciptakan dalam diri Adam a.s. akal dan syahwat, dan memberi keduanya
kecenderungan yang berbeda. Hal itu dimaksudkan untuk merealisasikan
kehendak-Nya dan menampakkan keagungan-Nya kepada hamba-hamba-Nya.
Semua itu dilakukan Allah SWT dalam
frame hikmah, kehebatan, kasih sayang, kebaikan dan kelembutan-Nya, yang
menjadi bukti kekuasaan dan kerajaan-Nya. Hikmah dan rahmat Allah SWT
juga menghendaki untuk menimpakan kepada Adam a.s. akibat dari
tindakannya menyalahi aturan-Nya. Allah SWT juga memberitahu Adam apa
yang ia peroleh akibat mengikuti syahwat dan hawa nafsunya, supaya dia
semakin berhati-hati dan semakin menjauhinya.
Dengan demikian, kondisi Nabi Adam a.s.
bagaikan seseorang yang berada dalam perjalanan, di mana musuh-musuhnya
bersembunyi di samping, di belakang, dan di depannya, sedangkan dia
tidak menyadarinya. Jika dia mendapat serangan satu kali saja, maka dia
akan terus waspada dan bersiap siaga sepanjang perjalanan. Dia juga akan
melakukan pef siapan untuk menghadapi musuh-musuhnya, serta
mempersiapkan segala sesuatu yang dapat melindunginya dari serangan
musuh-musuh tersebut. Seandainya dia sama sekali tidak pernah merasakan
kekalahan akibat serangan dan konspirasi musuh, maka ia tidak akan
pernah waspada dan bersiap siaga serta tidak akan mempersiapkan
persenjataan.
Maka, di antara kesempurnaan nikmat
Allah SWT kepada Adam a.s. dan keturunannya, Dia memperlihatkan apa yang
dilakukan musuh terhadap mereka, supaya mereka bersiap siaga dan
melakukan persiapan untuk menghadapinya. Kalau dikatakan bahwa bisa saja
musuh-musuh tersebut tidak mampu menguasai Adam a.s. dan keturunannya,
maka jawaban untuk hal ini adalah bahwa Allah SWT telah menciptakan Adam
a.s. dan keturunannya dalam bentuk dan struktur tubuh yang mengharuskan
mereka berbaur dengan musuh-musuh tersebut, serta mengharuskan mereka
menjalani ujian di tangan musuh-musuh itu.
Seandainya Allah SWT menghendaki,
niscaya Dia menciptakan Adam a.s. dan keturunannya seperti malaikat,
yang memiliki akal tanpa syahwat sehingga musuh-musuh tidak mampu
mengganggu mereka. Akan tetapi, seandainya mereka diciptakan dalam
bentuk demikian, maka mereka adalah makhluk lain, bukan anak-cucu Adam
a.s.. Karena sesungguhnya anak-cucu Adam a.s. terbentuk dari unsur akal
dan syahwat.
Di samping itu, karena cinta kepada
Allah SWT yang merupakan puncak kesempurnaan dan kebahagiaan seorang
hamba hanya terwujud dengan menanggung kesulitan demi ketaatan dan
keridhaan-Nya, maka hanya dengan menjalani semua itulah cinta sejati
dapat terwujud dan dapat diketahui keteguhannya di dalam hati. Hikmah
Allah SWT menghendaki untuk mengeluarkan Adam a.s. dan keturunannya ke
tempat yang diliputi syahwat dan kecintaan kepada hawa nafsu.
Sedangkan, cinta kepada Allah SWT hanya
akan terwujud dengan mengutamakan kebenaran dan menghindari hawa nafsu,
serta hal-hal yang lain di dunia. Dengan demikian, manusia dituntut
untuk memikul kesulitan yang berat, menjalani marabahaya, menanggung
celaan, bersabar menghadapi kezaliman dan kesesatan, serta dituntut
untuk menanggulanginya. Semua ini memperkokoh kekuatan cinta yang
tertanam di dalam relung hati. Kemudian hasilnya pun akan dinikmati oleh
seluruh anggota tubuhnya.
Sesungguhnya cinta yang hakiki dan
membuahkan hasil adalah cinta yang tetap tegar menghadapi berbagai
hambatan, tantangan, dan gangguan. Sedangkan, cinta yang mensyaratkan
(menuntut) kebahagiaan, kenikmatan, kesenangan, dan terpenuhinya
keinginan sang pencinta dari yang dicinta, maka ini bukanlah cinta yang
sejati. la sama sekali tidak mempunyai keteguhan menghadapi tantangan
dan rintangan. Karena sesuatu yang tergantung pada syarat, akan hilang
di kala syarat itu hilang.
Barangsiapa menyayangi Anda karena
sesuatu, maka dia akan berpaling di saat sesuatu tersebut hilang. Jadi
orang yang menyembah Allah SWT hanya di kala bahagia, sejahtera, dan
sehat, berbeda dengan orang yang tetap menyembah Allah SWT di kala susah
dan bahagia, menderita dan sejahtera, serta di kala sakit dan sehat.
Hanya milik Allah SWT pujian yang
sempurna dan tanpa akhir. Terlihatnya sebab-sebab yang membuat Dia
terpuji, merupakan konsekuensi dari Zat-Nya Yang Maha Terpuji.
Sebab-sebab itulah yang membuat-Nya terpuji. Adapun sebab yang membuat
Dia Maha Terpuji itu ada dua, yaitu Maha Pemurah dan Maha Adil. Maka,
Allah SWT terpuji pada kedua hal tersebut.
Karena itu, sebab-sebab keadilan dan
penyebutan-penyebutannya harus Tampak, sehingga kesempurnaan pujian yang
pantas bagi-Nya dapat terwujud. Dan sebagaimana Dia terpuji dalam
kebaikan, kasih sayang, dan kemurahan-Nya, Dia juga terpuji dalam
keadilan, ganjaran, dan siksa-Nya, karena semua itu berasal dari
keagungan dan kebijaksanaan-Nya. Oleh karena itu, dalam Al-Qur’an Allah
SWT seringkali mengingatkan hal ini. Seperti yang terdapat dalam surah
asy-Syu’araa’, yang pada akhir setiap kisah para rasul dan umat mereka
Dia berfirman,
“Sesungguhnya ‘pada yang demikian itu benar-benar merupakan suatu tanda yang besar, tetapi adalah kebanyakan mereka tidak beriman. Dan sesungguhnya Tuhanmu benar-benar Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang.” (asy-Syu’araa : 8-9)
Sebagaimana disebutkan dalam ayat di
atas, Allah SWT memberitahukan bahwa kebaikan, kasih sayang, kemurahan,
keadilan, pahala, dan siksa adalah berasal dari keagungan-Nya, yang
mencakup sempurnanya kekuasaan, kebijaksanaan, dan pengetahuan-Nya,
serta ketepatan penempatan-Nya terhadap segala sesuatu pada posisinya
masing-masing.
Hal ini sebagaimana Dia tidak memberikan
kenikmatan dan keselamatan kecuali kepada para rasul dan pengikutnya.
Dia tidak menimpakan kemurkaan dan kebinasaan kecuali kepada para
musuh-Nya. Semua ini merupakan penempatan yang tepat, terjadi karena
sempurnanya keagungan dan kebijaksanaan-Nya. Oleh karena itu, setelah
memberitahukan ketetapan-Nya bagi orang-orang yang bahagia dan
orang-orang yang sengsara serta perjalanan mereka ke tempat yang sesuai
bagi mereka masing-masing, maka Dia berfirman,
“Dan diberi putusan di antara hamba-hamba Allah dengan adil dan diucapkan, ‘Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.’ (az-Zumar: 75)
Kemahabijaksanaan dan kemahaterpujian
Allah SWT menghendaki adanya perbedaan yang sangat besar dan mencolok di
antara hamba-hamba-Nya. Ini Dia lakukan agar hamba-hamba-Nya yang
mendapatkan nikmat dan kemurahan-Nya mengetahui bahwa Allah SWT telah
menganugerahkan nikmat dan kemurahan serta kemuliaan yang tidak
diberikan kepada yang lainnya, semua itu agar mereka mau bersyukur.
Seandainya semua manusia sama dalam
memperoleh nikmat dan kesejahteraan, maka mereka yang memperoleh nikmat
tidak akan mengetahui nilai nikmat itu sendiri dan tidak akan berusaha
untuk bersyukur karena merasa bahwa kondisi semua orang sama dengannya.
Di antara sebab yang paling kuat dan
paling besar yang membuat seorang hamba bersyukur, adalah ketika dia
melihat dirinya dalam kondisi yang berbeda dengan hamba yang lain, di
mana dia berada dalam keadaan serba cukup dan beruntung. Dalam sebuah
riwayat yang masyhur, tatkala Allah SWT memperlihatkan kepada Adam a.s.
kondisi keturunannya dan perbedaan tingkatan mereka, Adam a.s.
berkata,”Wahai Tuhanku mengapa Engkau tidak menyamakan derajat
hamba-hamba-Mu?” Allah SWT menjawab, “Saya suka menerima rasa syukur.”
Maka, keinginan Allah SWT untuk
disyukuri, menuntut diciptakannya sebab-sebab yang menjadikan rasa
syukur hamba-hamba-Nya lebih besar dan lebih sempurna. Dan, inilah
esensi kebijaksanaan Allah SWT yang berasal dari sifat keterpujian-Nya.
Tidak ada sesuatu yang lebih disenangi
Allah SWT dari seorang hamba, selain ketundukan, kepatuhan,
ketergantungan, ketidakberdayaan, dan kepasrahan di hadapan-Nya.
Sebagaimana diketahui bahwa hal-hal di atas yang dituntut dari seorang
hamba, hanya tercapai jika sebab-sebab pendukungnya ada.
Sedangkan, sebab-sebab tersebut tidak
bisa terwujud di dalam surga, yang merupakan tempat kenikmatan yang
mutlak dan kesehatan yang sempurna. Karena jika sebab-sebab tersebut
terwujud di surga, maka hal ini memiliki konsekuensi penggabungan dua
hal yang kontradiktif.
Hanya Allah SWT yang berkuasa mencipta
dan memerintah. Perintah-Nya itu adalah syariat dan agama-Nya yang
diturunkan melalui para nabi dan kitab-kitab-Nya. Sedangkan surga
bukanlah tempat menjalankan ketetapan syara’, di mana hukum-hukum dan
akibat-akibatnya berlaku. Akan tetapi, surga adalah tempat kenikmatan
dan kesenangan. Dan, hikmah Allah SWT menghendaki Adam a.s. beserta
keturunannya dikeluarkan ke suatu tempat, yang di dalamnya hukum-hukum
syara’ dan perintah Allah berlaku. Sehingga, konsekuensi dari perintah
tersebut dan akibat-akibatnya tampak pada diri mereka.
Sebagaimana perbuatan dan penciptaan
Allah SWT merupakan konsekuensi koheren dari kesempurnaan Asmaa
‘ul-Husna dan sifat-sifat-Nya Yang Maha Agung, demikian juga halnya
dengan syariat-Nya, yang meliputi pahala dan siksa. Allah SWT
menunjukkan hal ini pada ayat lain dalam Al-Qur’an, sebagaimana
firman-Nya,
“Apakah manusia mengira bahwa ia akan dibiarkan begitu saja tanpa pertanggungjawaban.” (al-Qiyaamah: 36)
Artinya, apakah mereka mengira bahwa
mereka tidak dipedulikan, dibiarkan, tidak diperintah, tidak dilarang,
tidak diberi pahala, dan tidak disiksa? Ayat ini menunjukkan bahwa
anggapan tadi bertentangan dengan kesempurnaan hikmah-Nya. Ketuhanan,
keagungan, serta hikmah-Nya menolak hal tersebut.
Karena itu, Allah SWT berfirman dalam
bentuk pengingkaran terhadap orang yang memiliki prasangka di atas. Ini
menunjukkan bahwa kebaikan Allah SWT tertanam dalam fitrah dan akal
manusia. Begitu pula buruknya membiarkan kebaikan, juga tertanam di
dalam fitrah manusia. Maka, bagaimana mungkin sesuatu yang keburukannya
tertanam di dalam fitrah dan akal manusia dapat dinisbatkan kepada
Tuhan? Allah SWT berfirman,
“Maka apakah kamu mengira bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara bermain-main saja dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?Maka, Maha Tinggi Allah, Raja yang sebenamya. Tidak ada Tuhan selain Dia, Tuhan yang memiliki Arasy yang mulia.” (al-Mu rninuun: 115-116)
Sebagaimana dalam ayat di atas, Allah
SWT mensucikan Zat-Nya dari anggapan batil yang bertentangan dengan nama
dan sifat-sifat-Nya serta tidak layak bagi keagungan-Nya. Dia juga
menegaskan bahwa penisbatan anggapan tersebut kepada-Nya tidaklah benar.
Dan, ayat-ayat seperti ini banyak terdapat dalam Al-Qur’an.
Allah SWT menyukai, bagi
hamba-hamba-Nya, hal-hal yang perealisasiannya tergantung pada
terwujudnya sebab-sebab yang mereka capai, yang menghantarkan kepada
hal-hal tersebut. Hal-hal tersebut tidak dapat tercapai kecuali dalam
tempat cobaan serta ujian. Maka, Allah SWT mencintai orang-orang yang
sabar, orang-orang yang bersyukur, orang-orang yang bersatu untuk
berperang di jalan-Nya, orang-orang yang bertobat, dan orang-orang yang
menyucikan diri mereka.
Dan merupakan hal yang sudah jelas,
bahwa kecintaan Allah ini tidak akan tercapai tanpa adanya sebab-sebab,
sebagaimana kemustahilan terwujudnya akibat tanpa adanya sebab.
Kegembiraan Allah SWT atas tobat hamba-Nya lebih besar daripada
kegembiraan seseorang yang kehilangan tunggangan beserta seluruh
perbekalan di atasnya di sebuah lembah nan tandus, lalu tiba-tiba ia
menemukannya. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam riwayat shahih bahwa
Nabi saw. bersabda,
“Sesungguhnya kegembiraan Allah karena tobat seorang mukmin, lebih besar daripada seseorang yang berada di tanah tandus bersama hewan tunggangannya yang membawa makanan dan minumannya, lalu ia tertidur. Tatkala terbangun ia tidak menemukan tunggangannya. Kemudian dia mencarinya hingga dahaga menyerangnya, sehingga ia putus asa dan berkata, ‘Aku akan kembali ke tempat di mana aku tertidur, dan aku akan tidur lagi sampai aku mati.’ Maka dia pun meletakkan kepala di atas lengannya, untuk bersiap-siap menyambut kematian. Namun, tiba-tiba dia terbangun dan melihat hewan tunggangannya yang membawa seluruh bekalnya berada di sampingnya. Maka, kegembiraan Allah karena tobat seorang mukmin, lebih besar daripada kegembiraan orang tersebut.” (HR Bukhari, Muslim, dan Tirmidzi)
Insya Allah pembicaraan lebih lanjut
mengenai hadits ini dan penjelasan rahasia kegembiraan Allah atas tobat
seorang hamba akan menyusul. Adapun maksud dari hadits di atas secara
ringkas adalah bahwa kegembiraan Allah SWT timbul setelah hamba tersebut
bertobat dari dosanya. Karena tobat dan dosa adalah dua hal yang tidak
dapat dipisahkan dengan kegembiraan itu, sebagaimana akibat tidak akan
ada tanpa adanya sebab.
Jika kegembiraan Allah SWT hanya
terwujud karena tobat yang tidak terpisahkan dari dosa, maka
kegembiraan-Nya tersebut tidak akan terjadi di surga, tempat kenikmatan,
di mana dosa dan pelanggaran tidak ada. Dan ketika terwujudnya
kegembiraan itu lebih Allah SWT sukai daripada ketiadaannya, maka
kesukaan Allah tersebut mengharuskan diciptakannya sebab-sebab
terwujudnya kegembiraan yang disukai oleh-Nya.
Allah SWT menjadikan surga sebagai
tempat menerima imbalan dan pahala, dan membagi-bagi tingkatan surga,
sesuai amal perbuatan para penghuninya. Maka, Allah SWT menciptakan
surga dan membagi-bagi tingkatannya, karena di dalam pembagian itu
terdapat hikmah yang sesuai dengan nama dan sifat-sifat-Nya.
Sesungguhnya surga bertingkat-tingkat, dan jarak antara satu tingkat
dengan tingkat berikutnya seperti jarak antara langit dan bumi. Hal ini
sebagaimana terdapat dalam riwayat yang shahih, Rasulullah saw.
bersabda,
“Sesungguhnya surga itu terdiri dari seratus tingkatan. Jarak antarsatu tingkatan dengan yang lain seperti jarak antara bumi dan langit.”(HR Bukhari, Muslim, dan Tirmidzi)
Hikmah Allah SWT menghendaki agar semua
tingkatan surga ini dihuni. Dan, perbedaan tingkatan-tingkatan surga itu
sesuai dengan amal perbuatan penghuninya. Ini sebagaimana dikatakan
oleh beberapa ulama salaf, “Para penghuni surga selamat dari siksa
neraka adalah karena maaf dan ampunan Allah SWT.
Mereka masuk surga karena kemurahan,
nikmat, dan ampunan Allah SWT semata. Dan, mereka membagi-bagi tempat
mereka di surga sesuai dengan amal perbuatan mereka.” Berdasarkan hal
ini, beberapa ulama menetapkan bahwa seseorang masuk surga adalah karena
amal perbuatannya, sebagaimana firman Allah SWT,
“Dan itulah surga yang diwariskan kepadamu disebabkan amal-amal yang dahulu kamu kerjakan.” (az-Zukhruuf: 72).
Juga firman-Nya,
“Masuklah kamu ke dalam surga itu disebabkan apa yang telah kamu kerjakan.” (an-Nahl: 32)
Sedangkan nash-nash yang menunjukkan
bahwa seseorang tidak masuk surga karena amal perbuatannya, seperti
sabda Rasulullah saw. dalam hadits riwayat Bukhari,
“Tak seorang pun akan masuk surga karena amalnya.” Lalu para sahabat bertanya, “Apakah engkau juga wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab, “Demikian pula aku.”
Maksudnya bahwa pada dasarnya mereka
tidak masuk surga. Jawaban yang lebih tepat adalah bahwa huruf ba’ yang
bermakna sebab bukan huruf ba’ yang tidak memiliki makna sebab. Huruf
ba’ pertama ini disebut ba’ sababiyyah {ba’ yang memiliki arti sebab),
yang berarti bahwa amal perbuatan adalah sebab masuk surga, sebagaimana
semua sebab membutuhkan akibat. Sedangkan ba’ yang kedua yang tidak
bermakna sebab, dinamakan ba’ mu ‘aawadhah wa muqaabalah, seperti dalam
kata-kata orang Arab, “Saya membeli barang ini dengan uang ini.” Dan
inilah ba’ yang terdapat dalam hadits di atas.
Maka, Rasulullah saw. bersabda bahwa
masuk surga bukanlah imbalan dari amal seseorang. Seandainya bukan
karena limpahan kasih sayang Allah SWT, maka tidak seorang pun masuk
surga. Jadi amal seorang hamba, meskipun tidak terbatas jumlahnya, bukan
satu-satunya hal yang mengharuskan dia masuk surga, dan bukan pula
masuk surga itu sebagai ganti amalnya.
Meskipun amal seorang hamba dilakukan
sesuai dengan cara yang dicintai dan diridhai Allah SWT, namun itu tidak
dapat mengimbangi dan menyamai nikmat yang Allah SWT limpahkan
kepadanya di dunia. Bahkan, jika amal perbuatannya dihisab, maka itu
hanya setimpal dengan sedikit nikmat Allah SWT. Sedangkan, nikmat-nikmat
Allah SWT lain yang ia terima, masih memerlukan rasa syukur.
Jadi Allah SWT mengazabnya padahal ia
telah berbuat kebajikan, maka itu bukanlah kezaliman dari-Nya atas orang
tersebut. Dan apabila Allah SWT memberikan rahmat-Nya kepada orang
tersebut, maka rahmat-Nya itu jauh lebih baik dari amal perbuatannya.
Ini sebagaimana terdapat dalam sebuah riwayat dari Zaid Bin Tsabit,
Hudzaifah dan Iain-lain, yang terdapat dalam kitab-kitab Sunan yang
dinisbatkan kepada Nabi saw.
“Jika Allah berkehendak mengazab para penghuni surga dan para penghuni bumi-Nya, Dia pasti mengazab mereka, dan itu bukanlah kezaliman dari-Nya atas mereka. Dan jika Allah member! rahmat-Nya kepada mereka, maka rahmat-Nya lebih baik dari amal perbuatan mereka.” (HR Ahmad, Abu Daud, dan Ibnu Hibban)
Allah SWT menghendaki penciptaan surga
dengan derajatnya yang bertingkat-tingkat dan mengisinya dengan Adam
a.s. beserta keturunannya. Allah SWT juga menempatkan mereka di dalam
surga sesuai dengan amal perbuatan mereka. Maka sebagai konsekuensi dari
kehendak Allah itu, Dia menurunkan Adam a.s. dan keturunannya ke bumi,
tempat beramal dan berjuang.
Allah SWT menciptakan Adam a.s. dan anak cucunya sebagai khalifah di muka bumi, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya,
“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” (al-Baqarah: 30) “Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi.” (al-An’aam: 165) “Dan menjadikan kamu khalifah di bumi.” (al-A’raaf: 129)
Jadi Allah SWT hendak memindahkan Adam
a.s. dan keturunannya dari kekhalifahan di bumi, menjadi pewaris surga
yang abadi. Dengan ilmu-Nya, Allah SWT telah mengetahui bahwa karena
kelemahan dan pendeknya pandangan manusia, terkadang mereka lebih
memilih sesuatu yang dapat ia nikmati dengan segera namun tidak
bernilai, daripada sesuatu yang datangnya tertunda namun sangat
berharga.
Hal ini disebabkan jiwa manusia lebih
senang kepada sesuatu yang dapat mereka dapatkan dengan segera daripada
sesuatu yang akan mereka peroleh kelak. Dan, ini merupakan konsekuensi
diciptakannya manusia dengan tabiat tergesa-gesa serta diciptakan dengan
sifat suka terburu-buru. Karena itu, Allah SWT mengetahui bahwa salah
satu sifat manusia adalah lemah.
Maka, hikmah Allah SWT menghendaki untuk
memasukkan mereka ke dalam surga, supaya mereka mengetahui secara
langsung nikmat yang disiapkan untuk mereka. Sehingga, mereka lebih
merindukan dan menginginkannya, serta lebih semangat untuk
mendapatkannya. Karena cinta, rindu, dan keinginan mendapatkan sesuatu
terjadi karena seseorang telah membayangkan sesuatu tersebut.
Barangsiapa yang secara langsung menyaksikan dan merasakan keindahan
serta kenikmatan sesuatu, maka dia tidak bisa bersabar untuk
menggapainya.
Semua ini terjadi karena jiwa manusia
sangat perasa dan perindu. Apabila ia telah merasakan nikmatnya sesuatu,
maka ia akan terus merindukannya. Karena itu, jika seorang hamba telah
merasakan manisnya keimanan, dan keindahan iman telah menyatu dengan
kalbunya, maka akan kokoh kecintaannya kepada-Nya dan selamanya tidak
akan goyah oleh sesuatu pun.
Dalam sebuah hadits shahih riwayat
Bukhari yang berstatus marfu’ dan diriwayatkan dari Abu Hurairah
disebutkan bahwa Allah Azza wa Jalla bertanya kepada para malaikat,
“Apa yang diminta oleh hamba-hamba-Ku
dari-Ku?” Para malaikat menjawab, “Mereka meminta surga-Mu.” Allah
bertanya, “Apakah mereka pernah melihatnya?” Mereka menjawab, “Tidak.”
Allah bertanya kembali, “Bagaimana jika mereka pernah melihatnya?”
Mereka menjawab, “Niscaya mereka lebih menginginkannya lagi.”
Oleh karena itu, hikmah Allah SWT
menghendaki untuk memperlihatkan surga itu kepada Adam a.s., bapak
mereka. Dia menempatkan Adam a.s. di surga, kemudian Dia mengisahkan
kisahnya kepada keturunan Adam a.s.. Dengan demikian, seakan-akan mereka
telah menyaksikannya dan ada bersama Adam a.s. di dalamnya.
Maka, orang yang tercipta untuk surga
dan surga tercipta untuknya segera memenuhi seruan Tuhan dan segera
menuju ke surga. Tidak ada sesuatu yang bersifat sementara dapat
memalingkannya, tetapi dia segera mempersiapkan diri untuk menuju ke
sana. Ibarat seseorang yang tinggal di suatu tempat, kemudian ditawan
oleh musuhnya, maka ketika ia merasa bahwa tempat tersebut adalah
kampung halamannya yang asli, niscaya ia senantiasa merindukannya dan
tidak dapat tenang hingga ia kembali ke sana.
Seorang penyair berkata,
“Pindahkan hatimu kepada cinta yang engkau kehendaki
Karena cinta hanyalah untuk kekasih yang pertama
Betapa banyak tempat di bumi yang (pernah) ditempati oleh seseorang
Namun selamanya kerinduannya hanyalah untuk yang pertama.”
Dalam syair lain dengan makna yang senada dikatakan,
“Marilah kita menuju surga ‘Aden,
Karena di sanalah tempat asalmu dan di sana ada tempat berlindung
Akan tetapi kita ini adalah tawanan musuh,
Apakah menurut kamu kami dapat kembali ke tanah asal kita dengan selamat.”
Rahasia dari semua hal di atas adalah
bahwa Allah SWT dalam hukum dan hikmah-Nya, telah menetapkan bahwa
tujuan-tujuan yang ingin dicapai manusia tidak dapat mereka peroleh
kecuali melalui sebab-sebab yang telah dijadikan Allah sebagai sarana
yang mengantarkan kepada tujuan-tujuan tersebut. Di antara tujuan-tujuan
yang ingin dicapai oleh manusia adalah nikmat yang tertinggi, terbaik,
dan termulia. Dan, itu tidak dapat dicapai kecuali dengan sebab yang
telah ditetapkan Allah SWT, yang mengantarkan mereka ke tujuan tersebut.
Jika tujuan-tujuan yang derajatnya jauh
berada di bawah tujuan-tujuan termulia tersebut seperti makanan,
minuman, pakaian, anak dan harta di dunia, yang tertentu, bagaimana
mereka bisa mengklaim bahwa tujuan yang termulia itu dapat diperoleh
tanpa adanya sebab? Sebab-sebab ini tidak dapat diperoleh kecuali di
tempat berjuang dan bertanam. Maka, penempatan Adam a.s. dan
keturunannya di bumi, di mana terdapat sebab-sebab yang mengantar kepada
kedudukan tertinggi, merupakan bagian dari kesempurnaan nikmat-Nya
kepada mereka.
Di antara rahasia penempatan Adam a.s.
dan keturunannya di bumi juga adalah, bahwa Allah menjadikan kerasulan,
kenabian, kecintaan, takliim (pembicaraan langsung), kewalian, dan
‘ubudiah sebagai kedudukan dan kesempurnaan yang tertinggi bagi
makhluk-Nya. Maka, Allah SWT menempatkan mereka ke sebuah tempat, yang
di dalamnya Dia memilih para nabi, mengutus para rasul, mengambil
kekasih, dan berbicara langsung dengan Musa. Juga memilih di antara
mereka para syuhada, hamba setia dan orang-orang khusus yang Dia cintai
dan juga mencintai-Nya. Dan sekali lagi, ditempatkannya mereka di bumi
merupakan bagian dari kesempurnaan nikmat dan kebaikan dari-Nya.
Allah SWT juga menampakkan kepada
makhluk-Nya pengaruh dan berlakunya hukum nama-nama-Nya terhadap mereka,
sebagaimana yang dikehendaki oleh hikmah, rahmat, dan ilmu-Nya. Maka,
di antara rahasia diturunkannya Adam dan keturunannya ke bumi adalah
bahwa Allah SWT memperkenalkan wujud-Nya kepada makhluk-makhluk-Nya
melalui perbuatan-perbuatan-Nya, nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, dan apa
yang Dia lakukan terhadap para wali dan musuh-musuh-Nya.
Dia memuliakan para wali-Nya dan
menghinakan serta menyesatkan musuh-musuh-Nya. Dia mengabulkan doa,
memenuhi kebutuhan, menghilangkan kesusahan, menyingkirkan bala, serta
mencurahkan berbagai kebaikan dan keburukan dengan ketentuan-Nya,
sebagaimana yang Dia kehendaki.
Ini semua merupakan bukti terbesar bahwa
Dia adalah Tuhan dan Pemilik mereka. Dan, itu semua membuktikan bahwa
tiada tuhan selain Allah SWT, Dia Maha Mengetahui, Maha Bijaksana, Maha
Mendengar, dan Maha Melihat. Dialah Tuhan yang haq, sedangkan yang
lainnya adalah batil. Maka, bukti-bukti ketuhanan dan keesaan-Nya sangat
banyak di muka bumi ini.
Bukti-bukti itu bervariasi dan muncul
dari segala penjuru. Sehingga, hamba-hamba-Nya yang mendapatkan taufik
mengetahui dan mengakui keesaan-Nya. Sedangkan, orang-orang yang
tersesat mengingkari dan menyekutukan-Nya karena kezaliman dan kekafiran
mereka. Dengan demikian, orang yang binasa adalah karena sebab yang
jelas, dan orang yang selamat adalah karena sebab yang jelas pula. Allah
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Barangsiapa yang melihat dan merenungkan
tanda-tanda serta pengaruh kekuasaan-Nya yang terlihat dan terdengar di
buka bumi, maka dia pasti mengetahui kesempurnaan hikmah-Nya dalam
penempatan Adam a.s. dan keturunannya di bumi ini untuk jangka waktu
tertentu. Karena Allah SWT menciptakan surga untuk Adam a.s. dan
keturunannya, dan menjadikan malaikat sebagai pelayan mereka di
dalamnya.
Akan tetapi, hikmah-Nya menghendaki
untuk menciptakan suatu tempat bagi mereka, yang di dalamnya mereka
mengumpulkan bekal menuju tempat yang juga tercipta untuk mereka.
Sedangkan, mereka tidak akan mencapai tempat tersebut (surga) kecuali
dengan bekal dari dunia. Allah SWT berfirman tentang dunia,
“Dan ia memikul beban-bebanmu ke suatu negeri yang kamu tidak sanggup sampai kepadanya melainkan dengan kesukaran-kesukaran yang melelahkan diri. Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. “(an-Nahl: 7).
Ayat di atas menjelaskan kondisi
perpindahan dari suatu negeri ke negeri lain di bumi ini. Lalu bagaimana
dengan perpindahan dari dunia menuju tempat yang kekal?
“Berbekallah dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.” (al-Baqarah: 197)
Orang-orang yang tertipu, menjual dan
menukar tempat mereka di surga dengan harga dan sesuatu yang hina dan
rendah. Sedangkan, orang-orang yang mendapatkan taufik menjual diri dan
harta mereka untuk Allah SWT, dan menjadikan segala yang mereka miliki
sebagai biaya untuk menebus surga. Sehingga, mereka memperoleh laba dari
perniagaan ini dan memperoleh kemenangan yang sangat besar.
Allah SWT berfirman,
Allah SWT berfirman,
“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang beriman diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka.” (at-Taubah: 111)
Allah SWT tidak mengeluarkan Adam a.s.
dari surga, kecuali untuk mengembalikannnya dalam kondisi yang paling
sempurna, sebagaimana di dalam sebuah perumpamaan dikatakan bahwa Allah
SWT berfirman kepada Adam a.s.,
“Wahai Adam, janganlah engkau
terkejut dengan perkataan-Ku ‘keluar dari surga’, karena untukmulah Aku
ciptakan surga itu. Sesungguhnya Aku tidak membutuhkannya dan tidak
membutuhkan suatu apapun. Aku Maha Pemurah. Aku tidak bersenang-senang
di dalamnya. Aku Maha Memberi makan dan Aku tidak membutuhkan makan. Aku
Maha Kaya dan Maha Terpuji. Akan tetapi, turunlah engkau ke
tempatpersemaian. Jika engkau telah menaburbenih lalu benih itu tumbuh
dan berdiri tegak di atas batangnya kemudian menghasilkan buah, maka
saat itu kemarilah engkau. Lalu Aku akan membayar setiap biji yang
sangat engkau butuhkan dengan sepuluh kali lipat sampai tujuh ratus kali
lipat, dan terus hingga kelipatan-. kelipatan yang sangat banyak.
Sesungguhnya Aku lebih mengetahui kemaslahatanmu daripada dirimu sendiri
dan Aku Maha Agung lagi Maha Bijaksana.”
Ada yang berkata bahwa rahasia-rahasia
yang telah kami sebutkan di atas dan yang semisalnya, hanya berlaku jika
surga yang pernah ditempati Adam a.s. dan ia diturunkan darinya adalah
surga yang kekal, yang disiapkan untuk orang-orang bertakwa dan
orang-orang mukmin pada hari kiamat kelak. Dengan demikian, rahasia
diturunkan dan dikeluarkannya Adam a.s. dari sana menjadi nampak.
Akan tetapi, ada sekelompok orang di antaranya Abu Muslim, Mundzir
bui Sa’id al-Baluthi dan lainnya— yang berkata bahwa surga itu adalah
surga yang ada di suatu tempat tinggi di bumi ini, bukannya surga yang
pada hari kiamat dipersiapkan Allah SWT untuk hamba-hamba-Nya yang
beriman.
Mundzir bin Sa’id menyebutkan pendapat
ini dalam tafsirnya dari beberapa orang. Dia berkata, “Sekelompok orang
berpendapat bahwa firman Allah SWT kepada Adam a.s., ‘Tinggallah engkau dan istrimu di dalam surga’,
adalah surga abadi yang akan ditempati orang-orang mukmin pada hari
kiamat. Sedangkan, sebagian yang lain berpendapat bahwa itu adalah surga
lain yang diciptakan dan disiapkan sebagai tempat Adam a.s., bukan
surga yang abadi.
Ini adalah pendapat yang memiliki banyak
bukti-bukti pendukung, karena surga yang dimasuki orang mukmin pada
hari kiamat adalah salah satu tempat di akhirat. Dan surga itu hanya
dimasuki pada hari akhirat, sedangkan itu belum terjadi. Allah SWT telah
menjelaskan kepada kita dalam kitab-Nya tentang sifat-sifat surga itu.
Dan, mustahil Allah SWT menggambarkan sifat sesuatu, lalu sesuatu itu
tidak seperti apa yang Dia gambarkan. Maka, hal ini merupakan sebab
mengapa Allah SWT memberitahukan kondisi surga tersebut.”
Orang-orang berkata -ini masih perkataan
Mundzir bin Sa’id bahwa mereka mendapati Allah SWT menggambarkan surga
yang dipersiapkan untuk orang-orang bertakwa sesudah hari kiamat adalah
yang ditempati Adam a.s., padahal Adam a.s. tidak tinggal di sana.
Mereka berkata bahwa surga itu adalah surga yang kekal, padahal Adam
a.s. tidak kekal di dalamnya.
Mereka berkata bahwa Allah SWT
menjelaskan surga itu adalah tempat ganjaran bukannya tempat ujian,
padahal Adam a.s. telah diuji di dalamnya dengan kemaksiatan dan fitnah.
Mereka berkata bahwa Allah SWT telah menjelaskan di dalam surga itu
tidak ada kesedihan, dan orang-orang yang memasukinya akan berkata,
“Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan beban kesedihan,”
padahal Adam a.s. telah bersedih di dalamnya.
Kita tahu bahwa Allah SWT menamakan
surga itu dengan tempat keselamatan (Daarus-salaam), sedangkan Adam a.s.
tidak selamat dari kekurangan yang ada di dunia. Allah SWT juga
menamakannya sebagai tempat untuk menetap selamanya (Daarul-Qaraar),
padahal Adam a.s. tidak terus menetap di dalamnya. Allah SWT berfirman
kepada orang yang memasukinya,
“Dan mereka sekali-kali tidak akan dikeluarkan daripadanya” (al-Hijr: 48)
Sedangkan, Adam a.s. telah keluar karena kemaksiatan yang ia perbuat. Allah SWT berfirman,
“Mereka tidak merasa lelah di dalamnya.” (al-Hijr: 48)
Adam a.s. telah kelelahan karena
melarikan diri ketika dia melakukan kemaksiatan dan menutupi dirinya
dengan dedaunan surga, padahal kelelahan ini adalah yang dinafikan Allah
dari surga abadi. Allah SWT mengabarkan bahwa di dalamnya tidak
terdengar ucapan sia-sia dan dosa, padahal Adam a.s. telah melakukan
dosa dan mendengarkan sesuatu yang lebih besar daripada ucapan sia-sia,
yaitu diperintah berbuat maksiat kepada Tuhannya. Allah SWT mengabarkan
bahwa tidak ada ucapan sia-sia dan kedustaan di dalamnya, padahal iblis
telah memperdengarkan kedustaan kepada Adam a.s.. Iblis juga bersumpah
atas kedustaan tersebut setelah memperdengarkannya kepada Adam a.s..
Allah SWT telah memberitakan dalam Kitab-Nya bahwa Dia menamakan minuman yang ada di surga dengan nama, “minuman yang bersih” (al-Insaan: 21),
yakni bersih dari segala sifat tercela, padahal Adam a.s. tidak bersih
dari sifat-sifat tersebut. Allah SWT juga menamakannya ‘tempat
kebenaran’, padahal iblis telah mendustai Adam a.s. di dalamnya,
sedangkan ‘tempat kebenaran’ tidak ada dusta di dalamnya. Dan, Allah SWT
juga menamakannya ‘tempat yang tinggi’, yang di dalamnya sama sekali
tidak ada perubahan dan pergantian sebagaimana yang disepakati
orang-orang muslim. Dan, surga berada pada tempat yang paling tinggi.
Sesungguhnya Allah SWT berfirman,
“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” (al-Baqarah: 30)
Dia tidak mengatakan, “Sesungguhnya Aku akan menjadikannya di surga, tempat kembali.” Maka, para malaikat berkata,
“Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah.” (al-Baqarah: 30)
Dan dengan ketaatan para malaikat,
mereka tidak mungkin mengatakan kepada Allah SWT bahwa Allah tidak tahu.
Akan tetapi, para malaikat tersebut berkata,
“Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami.” (al-Baqarah: 32)
Hal ini merupakan indikasi bahwa Allah
SWT telah mengajarkan kepada mereka bahwa keturunan Adam a.s. akan
melakukan kerusakan di atas bumi. Jika tidak demikian, bagaimana mereka
mengatakan apa yang mereka tidak tahu.
Sedangkan Allah SWT telah berfirman, dan firman-Nya itu maha benar,
“Mereka itu tidak mendahului-Nya dengan perkataan dan mereka mengerjakan perintah-perintah-Nya.” (al-Anbiyaa”: 27)
Para malaikat tidak mengatakan dan tidak berbuat sesuatu kecuali yang diperintahkan oleh Allah SWT. Allah berfirman,
“Dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (at-Tahriim: 6)
Allah SWT telah memberitahu kita bahwa iblis berkata kepada Adam a.s.,
“Maukah saya tunjukkan kepada kamu pohon khuidi dan kerajaan yang tidak akan binasa?” (Thaahaa: 120)
Seandainya Allah SWT telah menempatkan
Adam pada surga yang abadi dan kerajaan yang tidak binasa, bagaimana dia
tidak membantah nasehat iblis dan mengingkari ucapannya dengan berkata,
“Bagaimana engkau menunjukkanku kepada sesuatu yang aku ada di
dalamnya, dan sesuatu itu telah diberikan kepadaku serta aku telah
memilihnya?” Mengapa Adam a.s. tidak menaburkan debu ke wajah iblis dan
mencelanya? Sebab, seandainya iblis dengan ucapannya itu bermaksud
menyesatkan Adam a.s., maka dia sebenarnya menghina Adam a.s.. Karena
menjanjikan kepada Adam a.s. jika ia melakukan maksiat, maka iblis akan
memberinya sesuatu yang dia ada di dalamnya, bukan sesuatu yang lebih
baik dari tempat itu.
Perkataan seperti ini hanya ditujukan
kepada orang-orang gila yang tidak berakal. Karena, imbalan yang
dijanjikan kepadanya dengan berbuat maksiat kepada Allah SWT telah ia
peroleh, yaitu kekekalan dan kerajaan yang tidak lekang oleh waktu. Dan
ketika Allah SWT menempatkan Adam a.s. di surga, Allah tidak memberitahu
Adam a.s. bahwa dia kekal di dalam surga. Seandainya Adam a.s. kekal di
dalam surga itu, pasti dia tidak akan terpengaruh oleh ucapan iblis dan
tidak menerima nasehatnya. Akan tetapi, karena dia tidak berada di
dalam surga yang kekal, maka dia tertipu dengan apa yang
diiming-imingkan iblis untuk makan buah khuidi.
Seandainya Allah SWT telah memberitahu
Adam a.s. bahwa dia berada di dalam surga yang abadi, maka apabila dia
meragukan pemberitahuan Tuhan tersebut, dia disebut sebagai orang kafir,
bukan menyebutnya sebagai orang yang berbuat maksiat. Hal ini, karena
orang yang meragukan berita Allah SWT adalah orang kafir, sedangkan
orang yang melakukan selain perintah Allah dan dia meyakini
pemberitahuan Tuhan disebut orang yang berbuat maksiat (al- ‘aashi).
Allah SWT hanya menamakan Adam a.s. sebagai orang yang berbuat maksiat,
bukan orang kafir.
Orang-orang berpendapat -ini masih
perkataan Mundzir bin Sa’id— bahwa seandainya Allah SWT menempatkan Adam
a.s. di dalam surga yang abadi, yang suci dan hanya dimasuki oleh orang
suci dan disucikan, maka mengapa iblis yang kotor, terlaknat, tercela,
dan hina dapat mencapai surga sehingga dia dapat menggoda Adam a.s..
Iblis adalah makhluk fasik yang telah membangkang dari perintah
Tuhannya.
Sedangkan, surga bukanlah tempat
orang-orang fasik dan sama sekali tidak akan dimasuki oleh orang yang
fasik. Surga adalah tempat orang-orang bertakwa, sedangkan iblis bukan
makhluk yang bertakwa. Jika setelah dikatakan kepada iblis dalam surah
al-A’raaf ayat 13, “Turunlah kamu dari surga itu; karena kamu tidak
sepatutnya menyombongkan diri di dalamnya”, dia mendapat kelapangan
untuk naik ke surga di langit ke tujuh, setelah Allah SWT memurkai dan
menjauhkannya karena keangkuhan dan kesombongannya, maka ini
bertentangan dengan firman Allah SWT dalam surah al-A’raaf tersebut.
Seandainya ucapan dan janji iblis kepada
Adam a.s. bukan kesombongan, maka orang-orang Arab yang dengan bahasa
mereka Al-Qur’an diturunkan, tidak akan memahami makna takabur. Mungkin
orang yang pikirannya lemah dan pengetahuannya kurang akan berkata bahwa
iblis tidak sampai ke surga, hanya godaannya yang sampai ke sana. Maka,
ini adalah kata-kata yang menyerupai kondisi orang yang mengatakan dan
meyakininya.
Dan, hanya firman Allah SWT yang menjadi
penengah antara kami dan orang itu. Firman Allah SWT, “Dan Iblis
bersumpah kepada keduanya,” tidak sejalan dengan pendapat orang
tersebut. Karena sumpah itu bukan godaan, tetapi ia adalah pembicaraan
langsung dengan lisan. Dan ini tidak terjadi kecuali ada dua pihak yang
berada pada satu tempat, bukan hanya satu orang. Di antara bukti yang
menunjukkan bahwa bisikan iblis berupa pembicaraan langsung
(mukhaathabah) adalah firman Allah SWT,
“Kemudian setan membisikkan pikiran jahat kepadanya dengan berkata, ‘Wahai Adam, maukah saya tunjukkan kepada kamu pohon khuldi dan kerajaan yang tidak akan binasa” (Thaahaa: 120)
Dalam ayat ini, Allah SWT memberitahukan
bahwa iblis berkata kepada Adam a.s.. ini menunjukkan bahwa iblis
membisiki Adam a.s. secara langsung, bukannya memasukkan godaannya ke
dalam relung hati Adam a.s. tanpa kata-kata. Barangsiapa mengklaim bahwa
ayat ini perlu ditakwilkan tanpa adanya dalil, maka pendapatnya itu
tidak boleh diterima. Dan sekali lagi bahwa bisikan adalah ucapan atau
suara yang terdengar.
Ar-Ru’bah Ibnu-Ajjaj berkata,
“Ucapan pelan yang berdoa dengan ikhlas kepada Tuhan.”
Al-A’syaa berkata,
“Engkau mendengar gemerincing lembut suara perhiasan di kala dia pergi Seperti suara pohon ‘Asyraq yang ditiup angin.”
Orang-orang berpendapat bahwa perkataan
iblis kepada Adam a.s. dan Hawa, “Tuhan kamu tidak melarang kamu berdua
memakan pohon ini”, menunjukkan bahwa iblis menyaksikan mereka berdua
dan pohon itu. Tatkala Adam a.s. keluar dari surga, tidak lagi tinggal
di dalamnya, Allah SWT berfirman,
“Bukankah Aku telah melarang kamu berdua dari pohon kayu itu dan Aku katakan kepadamu, ‘Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu berdua.'” (al-A’raaf: 22)
Dalam firman-Nya di atas, Allah SWT
tidak mengatakan ‘dari pohon ini’ seperti ucapan Iblis kepada Adam a.s..
Ini disebabkan Adam a.s. waktu itu tidak berada di surga dan tidak
melihat pohon tersebut.
Allah SWT berfirman,
“Kepada-Nya lah naik perkataan-perkataan yang balk dan amal saleh dinaikkan-Nya.” (Faathir: 10)
Dalam ayat di atas Allah SWT mengatakan
dengan tegas bahwa yang akan naik kepada-Nya adalah perkataan yang baik
dan amal saleh. Inilah yang telah kami katakan sebelumnya bahwa hanya
yang suci dan baik yang bisa masuk ke tempat suci dan disucikan. Aku
berlindung kepada Allah atas ucapan bahwa bisikan iblis itu suci,
disucikan atau baik, tetapi sebaliknya bisikan iblis adalah buruk,
zalim, keji, dan najis. Maha Tinggi dan Maha Besar Allah SWT dari hal
tersebut. Sebagaimana perbuatan orang-orang kafir tidak sampai kepada
Allah SWT Yang Maha Suci karena perbuatan itu hina dan buruk, maka
demikian halnya dengan bisikan iblis. Allah berfirman,
“Sekali-kali jangan curang, karena sesungguhnya kitab orang yang durhaka tersimpan dalam sijjiin.” (al-Muthaffifiin: 7)
Diriwayatkan dari Nabi saw. bahwa Adam
a.s. tidur dalam surganya, padahal menurut ijma’ orang-orang muslim,
penghuni di surga yang abadi tidak tidur karena tidur adalah satu
kematian, sebagaimana dikatakan dalam Al-Qur’an. Dan orang yang tidur
adalah orang yang mati, atau laksana orang mati. Sedangkan, kematian
adalah sebuah perubahan kondisi, padahal surga bebas dari perubahan.
Mereka mengatakan bahwa Ummu Haritsah
berkata kepada Rasulullah,” Wahai Rasulullah, sesungguhnya Haritsah
telah terbunuh dalam peperangan bersamamu. Jika dia berjalan menuju
surga, maka saya akan bersabar dan berbalk sangka. Tetapi jika dia
berjalan menuju ke tempat lain, menurut engkau apa yang harus saya
lakukan?” Maka Rasulullah saw. bersabda, “Apakah kau kira surga itu cuma
satu? Surga itu banyak.” Maka Rasulullah saw. mengabarkan bahwa Allah
SWT memiliki banyak surga, jadi mungkin saja Adam a.s. ditempatkan dalam
salah satu surga selain surga abadi.
Mereka mengatakan bahwa walaupun riwayat
yang menyebutkan bahwa surga Adam ada di India tidak disahkan oleh para
perawi dan penukil khabar serta atsar, tapi yang diterima akal dan
didukung oleh makna lahir ayat Al-Qur’an adalah bahwa surga Adam a.s.
bukan surga abadi. Bagaimana bisa dikatakan bahwa surga itu adalah surga
abadi, padahal Allah SWT yang berfirman kepada para malaikat,
“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” (al-Baqarah: 30)
Bagaimana Allah SWT memberitahukan
kepada para malaikat bahwa Dia hendak menjadikan seorang khalifah di
atas bumi, kemudian Dia menempatkannya di surga, tempat kekekalan?
Sedangkan surga itu hanya dimasuki oleh orang yang kekal didalamnya,
sebagaimana ia dinamakan Daarul-Khuld (tempat kekekalan). Allah SWT
telah menamakan surga tersebut dengan beberapa nama yang telah kami
sebutkan dengan penamaan secara umum, yang tidak ada pengecualian di
dalamnya. Jika surga dikatakan sebagai tempat kekekalan, maka obyek nama
ini tidak boleh berkurang sama sekali.
Demikianlah beberapa argumentasi orang-orang yang mengatakan bahwa surga Adam a.s. bukan surga yang abadi.
Atas dasar ini, maka penempatan Adam dan keturunannya di dalam surga tidak bertentangan dengan keberadaan mereka di dalam tempat cobaan dan ujian. Dengan demikian, hal-hal yang kalian sebutkan bisa terjadi di surga ini.
Komentar/jawaban kami untuk hal di atas adalah sebagai berikut.
Ada dua pendapat manusia seputar
permasalahan surga Adam a.s.. Kami telah menyebutkan kedua pendapat
tersebut serta dalil—dalil keduanya. Maka, berikut ini akan kami
jelaskan kebenaran dalil-dalil atas hal-hal yang telah kami sebutkan
sebelumnya, juga akan kami jelaskan beberapa argumentasi pendukung
lainnya.
Pertama-tama kami akan menyebutkan
pendapat orang-orang yang mengatakan bahwa surga Adam a.s. adalah surga
abadi yang dijanjikan Allah SWT kepada orang-orang bertakwa, disertai
dalil-dalil mereka serta jawaban terhadap orang-orang yang mengatakan
bahwa surga itu bukan surga yang abadi.
Setelah itu kami akan menyebutkan
pendapat kelompok kedua, dalil-dalil mereka, dan jawaban mereka terhadap
lawan-lawan mereka, tanpa memihak atau mendukung salah satu dari kedua
pendapat tersebut, sebab itu bukanlah tujuan kami. Tujuan kami hanyalah
menyebutkan beberapa hikmah dan kemashlahatan yang menyebabkan Adam a.s.
dikeluarkan dari surga dan ditempatkan di atas bumi, tempat cobaan dan
ujian.
Sasaran di balik itu adalah untuk
memberikan jawaban kepada orang yang mengatakan bahwa hikmah Allah SWT
menolak jika Adam a.s. berada di surga dan Allah membiarkannya melakukan
dosa sehingga membuatnya keluar darinya. Juga untuk memberikan jawaban
terhadap orang yang mengatakan bahwa tidak ada faedah dalam kejadian
itu.
Selain itu, juga jawaban terhadap orang
yang mengatakan bahwa Allah SWT tidak memiliki hikmah dalam keluarnya
Adam a.s. dari surga, dan bahwa itu terjadi karena kehendak-Nya belaka.
Ketika maksud Tuhan itu terjadi, baik itu surga yang abadi maupun bukan,
maka kami menjelaskan pendapat kami berdasarkan kedua kemungkinan
tersebut.
Kami akan membantah secara singkat terhadap mereka yang mengatakan bahwa surga Adam a.s. bukanlah surga yang kekal, tidak akan mencapai tujuan dan tidak akan menghilangkan penyakit.
Oleh karena itu, kami menempuh cara ini
agar pendapat mereka terbantah dengan semua pendapat umat ini. Setelah
memohon pertolongan kepada Allah SWT, bertawakal, dan berserah diri
kepada-Nya, maka kami katakan, “Apa yang kalian katakan bahwa surga yang
pernah ditempati Adam a.s. bukan surga yang abadi tetapi surga yang
lain, adalah permasalahan yang menjadi perselisihan umat. Pendapat yang
paling masyhur di kalangan ulama dan orang awam bahwa surga tersebut
adalah surga yang abadi, yang disediakan untuk orang-orang bertakwa.
Beberapa ulama salaf juga telah menegaskan hal ini.
Orang-orang yang mendukung pendapat ini,
mendasarkan argumentasi mereka kepada sebuah riwayat Imam Muslim dalam
kitab Shahihnya dari Abu Malik al-Asyja’I, dari Abu Hazim, dari Abu
Hurairah r.a., dari Abu Malik, dari Rab’i bin Kharrasy, dari Hudzaifah
r.a..
Abu Hurairah dan Hudzaifah berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda,
“Allah Azza wa Jalla mengumpulkan
manusia hingga surga didekatkan kepada mereka. Lalu mereka mendatangi
Adam dan berkata, ‘Wahai Bapakkami, mintalah supaya surga dibukakan
untuk kami.’ Adam menjawab. ‘Kalian tidak dikeluarkan dari surga kecuali
karena satu kesalahan Bapak kalian Adam.” (HR Muslim)
Hadits ini menunjukkan bahwa orang-orang
meminta Adam a.s. untuk memohon Tuhan membukakan surga yang pernah ia
tempati. Mereka juga berargumentasi bahwa yang menunjukkan hal itu
adalah firman Allah SWT,
“Allah berfirman, ‘Hai Adam tinggallah engkau dan istrimu di surga!”‘ (al-Baqarah: 35)
Sampai pada,
“Turunlah kamu! Sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain, dan bagi kamu ada tempat kediaman di bumi, dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan.” (al-Baqarah: 36)
Dan firmannya ‘Turunlah kamu!’ dan
seterusnya, menunjukkan bahwa mereka sebelumnya tidak berada di bumi.
Allah SWT juga menggambarkan surga yang ditempati Adam a.s. tersebut
dengan beberapa sifat yang tidak ada dalam surga duniawi. Allah SWT
berfirman,
“Sesungguhnya kamu tidak akan kelaparan di dalamnya dan tidak akan telanjang, dan sesungguhnya kamu tidak akan merasa dahaga dan tidak pula akan ditimpa panas matahari di dalamnya.” (Thaahaa: 118-119)
Hal yang disebutkan ayat ini tidak
terjadi di dunia. Karena meskipun seseorang di dunia berada pada
kedudukan yang paling tinggi, dia pasti mengalami rasa lapar, haus,
tidak berpakaian, dan terkena sengat sinar matahari. Juga seandainya
surga Adam a.s. itu di dunia, niscaya Adam a.s. mengetahui kebohongan
iblis dalam ucapannya,
“Maukah kamu saya tunjukkan pohon khuldi, dan kerajaan yang tidak akan binasa?” (Thaahaa: 120)
Adam a.s. tahu bahwa dunia ini fana dan
kerajaannya tidak abadi. Dalam kisah Adam a.s. dalam surah al-Baqarah,
sesungguhnya sangat jelas bahwa surga tempat asal dia dikeluarkan berada
di atas langit. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an,
“Dan ingatlah ketika Kami berfirman kepada para malaikat, ‘Sujudlah kalian kepada Adam,’ maka sujudlah mereka kecuali Iblis. Dia enggan dan takabur. Dan dia adalah termasuk golongan orang-orang kafir. Kami berfirman, “Hai Adam, diamilah oleh kamu dan istrimu surga itu, dan makanlah makanan mana saja yang engkau sukai dan janganlah engkau dekati pohon ini yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang zalim.’ Lalu keduanya digelincirkan oleh setan dari surga itu, lalu dikeluarkan dari keadaan semula dan Kami berfiman, ‘Turunlah kamu! Sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain dan bagi kamu ada tempat keamanan di bumi dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan.'” (al-Baqarah: 34-37)
Ayat di atas menggambarkan proses
kejatuhan Adam, Hawa, dan iblis dari surga. Oleh karena itu, dalam ayat
di atas kata ganti yang digunakan adalah kata ganti plural (kalian).
Dikatakan bahwa kata ganti tersebut adalah untuk mereka dan ular, namun
ini memerlukan riwayat yang benar, sebab dalam kisah Adam dan Iblis
tidak disinggung sama sekali tentang ular. Ada juga yang mengatakan
bahwa firman Allah SWT tersebut adalah untuk Adam dan Hawa saja,
walaupun menggunakan kata ganti plural, seperti dalam firman-Nya,
“Dan adalah Kami menyaksikan keputusan yang diberikan oleh mereka itu.” (al-AnbiyaaN: 78)
Ada juga yang mengatakan bahwa kata
ganti tersebut ditujukan kepada Adam dan Hawa beserta keturunannya. Akan
tetapi semua pendapat ini lemah, kecuali pendapat pertama karena antara
pendapat yang tidak memiliki dalil dengan makna yang tampak dalam ayat
sangat jauh bertentangan. Maka, jelaslah bahwa iblis termasuk obyek
perkataan Allah SWT tersebut, dan dia juga termasuk yang dikeluarkan
dari surga.
Kemudian Allah SWT berfirman,
Kemudian Allah SWT berfirman,
“Kami berfirman, ‘Turunlah kamu semua dari surga itu! Kemudian jika datang petunjuk-Ku kepadamu, maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka dan tidak ada pula mereka bersedih hati.'” (al-Baqarah: 38)
Kejadian turunnya Adam, Hawa, dan iblis
yang kedua ini, jelas bukan turunnya mereka yang pertama. Kejadian yang
kedua ini adalah mereka turun dari langit ke bumi. Maka, turunnya mereka
yang pertama adalah dari surga yang berada di atas langit, yaitu surga
yang abadi. Sebagian ulama, di antaranya Zamakhsyari, berpendapat bahwa
perkataan Allah, “Turunlah kalian semua dari surga!” adalah khusus untuk
Adam dan Hawa. Al-Qur’an menggunakan bentuk plural karena keturunannya
diikutsertakan ke dalamnya. Dalil pendapat ini adalah firman Allah SWT,
“Allah berfirman, ‘Turunlah kamu berdua dari surga bersama-sama, sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain. Maka jika datang kepadamu petunjuk daripada-Ku, lalu barangsiapa yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka.’ (Thaahaa: 123)
Dalil yang lain adalah firman Allah,
“Maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka dan tidak ada pula mereka bersedih hati. Adapun orang-orang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itu penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (al-Baqarah: 38-39)
Ayat ini tidak lain adalah sebuah hukum
yang meliputi semua orang. Dan makna, ‘Sebagian dari kamu menjadi musuh
atas sebagian yang lain’ adalah kondisi manusia yang saling bermusuhan,
berselisih, dan saling menyesatkan satu sama lainnya. Penafsiran ayat
yang dipilih oleh para pemilik pendapat ini merupakan penafsiran yang
paling lemah. Karena permusuhan yang disebutkan Allah SWT tersebut
adalah permusuhan antara Adam dan Iblis, serta antar keturunan keduanya.
Hal ini sebagaimana dalam firman Allah SWT,
“Sesungguhnya setan itu adalah musuh bagi kalian, maka anggaplah ia musuh kalian.” (Faathir: 6)
Adapun tentang Adam a.s. dan istrinya,
maka Allah SWT telah menyebutkan dalam Al-Qur’an bahwa Dia menciptakan
Hawa agar Adam merasa tenteram bersamanya. Allah SWT berfirman,
“Dan di antara tanda-tanda kekuasan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan mereka tenteram kepadanya dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.” (ar-Ruum: 21)
Allah SWT menciptakan kasih sayang
antara laki-laki dan pasangannya. Sedangkan, antara Adam dan Iblis serta
keturunannya, maka Allah menjadikan permusuhan di antara mereka. Kata
ganti plural dalam ayat-ayat di atas juga menunjukkan hal ini.
Penjelasan tentang Adam dan Hawa telah disebutkan dalam pendapat mereka
tentang firman Allah, “Lalu keduanya digelincirkan setan dari surga, dan
keduanya dikeluarkan.” Jadi mereka bertiga adalah Adam, Hawa, dan
iblis. Lalu mengapa kata ganti itu hanya untuk sebagian yang disebutkan
tidak untuk semuanya, padahal ini tidak sesuai dengan konteks kalimat?
Apabila ditanyakan, bagaimana Anda memahami firman Allah,
“Allah berfirman, ‘Turunlah kamu berdua dari surga bersama-sama. Sebagian kamu menjadi musuh sebagian yang lain.'” (Thaahaa: 123)
Karena ayat ini adalah perintah kepada
Adam dan Hawa, namun mengapa setelah itu ayat ini menginformasikan
permusuhan mereka dengan kata ganti plural? Ada yang mengatakan bahwa
kata ganti dalam firman Allah ‘turunlah kamu berdua!’ adalah untuk Adam
dan istrinya.
Ada juga yang mengatakan bahwa kata
ganti tersebut adalah untuk Adam dan iblis sedangkan Hawa tidak
disebutkan karena dia ikut kepada Adam. Berdasarkan pendapat yang kedua,
firman Allah di atas ditujukan kepada dua pihak yang bermusuhan, yaitu
Adam dan iblis. Dan berdasarkan pendapat pertama, maka ayat ini meliputi
dua hal.
a) Perintah untuk turun dalam ayat tersebut adalah ditujukan kepada Adam a.s. dan istrinya.
b) Permusuhan itu adalah antara Adam, Hawa dan iblis. Dengan demikian, iblis harus masuk dalam hukum permusuhan ini, sebagaimana dengan firman Allah SWT,
b) Permusuhan itu adalah antara Adam, Hawa dan iblis. Dengan demikian, iblis harus masuk dalam hukum permusuhan ini, sebagaimana dengan firman Allah SWT,
“Ini (Iblis) adalah musuh kamu dan musuh istri kamu.” (Thaahaa: 117)
Allah SWT berfirman kepada anak cucu Adam,
“Sesungguhnya setan itu musuh kalian dan tempatkanlah dia sebagai musuh.” (Faathir: 6)
Perhatikanlah bagaimana ayat-ayat yang
di dalamnya menyebutkan tentang permusuhan dengan iblis sesuai dengan
kata ganti yang ada di dalamnya, yaitu bentuk plural bukannya kata ganti
untuk dua orang. Sedangkan, ayat yang bercerita tentang turunnya Adam,
Hawa, dan iblis dari surga, terkadang disebutkan dengan kata ganti
plural, kata ganti untuk dua orang atau kata ganti tunggal yaitu untuk
iblis saja. Misalnya firman Allah,
“Allah berfirman, ‘Apakah yang menghalangimu untuk bersujud kepada Adam pada Waktu Aku menyuruhmu?’ Iblis menjawab, ‘Saya lebih baik daripadanya. Engkau ciptakan saya dari api, sedang dia Engkau ciptakan dari tanah.’ Allah berfirman, ‘Turunlah kamu dari surga itu karena kamu tidak sepatutnya menyombongkan diri di dalamnya.” (al-A’raaf: 12-13)
Perintah turun dalam ayat ini hanyalah
untuk iblis saja, dan kata ganti dalam firman-Nya ‘darinya’ adalah
merujuk ke kata ‘surga’. Ada juga yang berpendapat bahwa kata ganti pada
kata ‘darinya’ itu merujuk kepada ‘langif. Apabila kata ganti tersebut
berbentuk plural, maka Adam, istrinya, dan iblis adalah inti dalam
kisah. Apabila kata gantinya menunjukkan arti dua orang, maka itu untuk
Adam dan istrinya, karena mereka berdua yang memakan buah pohon larangan
atau yang melakukan kemaksiatan. Bisa juga kata ganti tersebut untuk
Adam dan iblis, karena keduanya adalah nenek moyang kedua jenis makhluk;
manusia dan jin.
Oleh sebab itu, Allah SWT menyebutkan
keadaan keduanya dan apa yang berhubungan dengan mereka, agar menjadi
renungan dan pelajaran bagi anak cucu keduanya. Dan apabila kata
gantinya berbentuk tunggal, maka itu untuk iblis saja. Dan yang
menunjukkan bahwa kata ganti dalam firman-Nya, ‘turunlah kalian berdua
dari tempat itu bersama-sama’, adalah untuk Adam dan Iblis, yaitu bahwa
ketika Allah SWT menyebutkan tentang kemaksiatan, Allah SWT hanya
menyebut Adam tanpa menyebut istrinya. Allah berfirman,
“Dan durhakalah Adam kepada Tuhan dan sesatlah dia. Kemudian Tuhannya memilihnya, maka Dia menerima taobatnya dan memberinya petunjuk. Allah berfirman, ‘Turunlah kamu berdua dari surga bersama-sama.'” (Thaahaa: 121-123)
Semua ini menunjukkan bahwa yang
diperintah turun adalah Adam dan iblis. Sedangkan Hawa sudah tercakup
dalam keduanya, dia diikutkan kepada Adam. Karena pemberitahuan Allah
SWT kepada hamba-hamba-Nya, jin dan manusia, tentang buruknya
kemaksiatan yang dilakukan nenek moyang mereka bertujuan agar mereka
tidak mengikutinya, maka penyebutan kedua nenek moyang mereka adalah
lebih efektif dalam menyampaikan maksud ini, daripada hanya menyebutkan
bapak-ibu manusia.
Allah SWT juga menginformasikan tentang
istri Adam a.s., yaitu bahwa dia ikut makan bersama Adam a.s. Allah SWT
menurunkan dan mengeluarkannya karena ia memakan buah tersebut. Hal ini
dikarenakan Allah SWT mengetahui bahwa ini merupakan tuntutan dari
perkawinan, dan bahwa Hawa pun menjalani apa yang dialami Adam a.s..
Dengan ini, maka menyebutkan kedua nenek moyang manusia, lebih baik
daripada hanya menyebutkan bapak atau ibu manusia saja. Wallahu a ‘lam.
Singkatnya, firman Allah SWT dalam surah
al-Baqarah ayat 36, “Turunlah kamu! Sebagian kamu menjadi musuh
sebagian yang lain”, dengan jelas memakai kata ganti plural. Sebab itu,
ayat ini tidak bisa ditafsirkan hanya untuk dua orang saja, seperti
dalam firman Allah ‘turunlah kalian berdua’.
Orang-orang yang berpendapat bahwa surga
Adam bukan surga abadi mengatakan, “Bagaimana iblis menggoda Adam a.s.
setelah menurunkannya dari surga, dan mustahil dia bisa naik ke surga
sesudah Allah SWT berfirman kepadanya, ‘Turun!’.”
Ada beberapa jawaban untuk pertanyaan ini.
1) Allah SWT telah mengeluarkan iblis
dari surga, dan Dia melarangnya untuk memasukinya sebagai tempat
kediaman, tempat kehormatan, dan menjadikannya sebagai tempat menetap.
Lalu darimana kalian tahu bahwa Allah SWT melarang iblis masuk ke surga
untuk menguji dan mencoba Adam dan istrinya? Maka, masuknya iblis ke
surga waktu itu sifatnya adalah insendentil, sebagaimana halnya para
polisi yang memasuki rumah orang-orang yang harus diperiksa dan diawasi,
meskipun polisi-polisi tersebut sebenarnya tidak berhak untuk tinggal
dalam rumah itu.
2) Iblis tidak masuk ke surga, tetapi ia hanya mendekati langit dan berbicara dengan Adam dan Hawa.
3) Mungkin juga dia hanya berada di pintu surga, lalu memanggil dan bersumpah kepada Adam dan Hawa, tanpa masuk ke dalamnya.
2) Iblis tidak masuk ke surga, tetapi ia hanya mendekati langit dan berbicara dengan Adam dan Hawa.
3) Mungkin juga dia hanya berada di pintu surga, lalu memanggil dan bersumpah kepada Adam dan Hawa, tanpa masuk ke dalamnya.
4) Diriwayatkan bahwa ketika iblis
hendak masuk ke surga, para penjaga surga melarangnya. Kemudian ia masuk
ke dalam mulut ular dan ular itu membawa iblis masuk menemui Adam dan
Hawa tanpa disadari para penjaga.
Mereka yang berpendapat bahwa surga Adam
a.s. adalah surga abadi mengatakan, salah satu dalil yang menunjukkan
bahwa itu adalah surga abadi adalah bahwa kata ‘surga’ disebutkan dalam
bentuk definitif, yaitu kata ‘surga ‘dalam setiap ayat di atas disertai
dengan huiuflaam ta’riif. Seperti dalam firman Allah SWT,
“Tinggallah kamu dan istrimu dalam surga!” (al-Baqarah: 36)
Tidak ada surga yang dikenali dan
diketahui obyek pembicaraan kecuali surga abadi, yang dijanjikan oleh
Allah SWT kepada hamba-hamba-Nya yang beriman kepada yang gaib. Dengan
demikian, nama ini menjadi isim ‘aalam (nama tetap) bagi surga, meskipun
jannah mempunyai arti ‘kebun yang penuh dengan buah-buahan’, seperti
halnya nama madiinah (kota) untuk kota Rasul, an-nujum untuk bintang
Tsurayya (bintang Kartika) dan semacamnya.
Maka, disebutkannya lafal al-jannah
dengan ungkapan definitif yang didahului huruf alif dan laam,
menunjukkan makna surga yang lazim dikenal oleh orang-orang mukmin.
Adapun jika yang dimaksud adalah surga yang lain, maka mestinya
disebutkan dengan iafal nakirah (indefinitif), seperti firman Allah,
“Dua kebun anggur.” (al-Kahfi: 32)
Atau disertai dengah idhaqfah (penyandaran kepada kata lain), seperti firman Allah,
“Dan mengapa kamu tidak mengucapkan ketika kamu memasuki kebunmu:” (al-Kahfi: 39)
Atau jika terikat dengan konteks yang menunjukkan bahwa surga tersebut ada di bumi, seperti firman Allah SWT,
“Sesungguhnya Kami telah mencobai mereka (musyrikin Mekah) sebagaimana Kami telah mencobai pemilik kebun ketika mereka sungguh-sungguh akan memetik hasilnya di pagi hari.” (al-Qalam: 17)
Konteks dalam kalimat-kalimat tersebut menunjukkan bahwa surga itu sebuah kebun yang ada di bumi.
Orang-orang yang berpendapat bahwa surga Adam a.s. adalah surga yang
abadi juga mengatakan, seluruh pengikut Ahlusunnah wal-Jama’ah telah
sepakat bahwa surga dan neraka telah diciptakan. Hadits-hadits mutawatir
mengenai hal ini banyak sekali, seperti yang terdapat dalam kitab
Shahih Bukhari-Muslim, yang diriwayatkan dari Abdullah bin Umar r.a.
dari Nabi saw. bahwa Rasulullah bersabda,
“Sesungguhnya jika salah seorang di
antara kalian mati, maka tempat duduknya disuguhkan kepadanya siang dan
malam. Jika dia penduduk surga, maka kursi itu dari kursi penduduk
surga. Dan jika dia penduduk neraka, maka kursi itu kursi penduduk
neraka. Lalu dikatakan kepadanya, inilah tempat dudukmu hingga Allah
membangkitkan kamu pada hari kiamat.” (HR Bukhari dan Muslim)
Juga riwayat lain dalam Shahih Bukhari dan Muslim, yaitu hadits Sa’id al-Khudri bahwa Nabi bersabda,
“Surga dan neraka bertengkar. Surga
berkata, ‘Mengapa tidak masuk kepadaku kecuali orang-orang lemah dan
rendahan.’ Dan neraka berkata, “Mengapa tidak ada yang masuk kepadaku
selain orang-orang kejam dan sombong.’ Maka Allah berfirman kepada
surga, ‘Engkau adalah rahmat-Ku. Denganmu, Aku merahmati orang yang Aku
kehendaki.’ Dan berfirman kepada neraka, ‘Aku mengazab denganmu siapa
yang Aku kehendaki.'”(HR Bukhari dan Muslim)
Dan dalam kitab-kitab Sunan, terdapat sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah bersabda,
“Tatkala Allah menciptakan surga dan
neraka, Dia mengutus Jibril ke surga dan berfirman kepadanya, ‘Pergi
dan lihatlah kepadanya dan kepada apa yang Aku persiapkan untuk
penghuninya.’ Lalu Jibril pun pergi melihat surga dan apa yang
dipersiapkan untuk penghuninya.”(HR Tirmidzi dan Ahmad)
Dalam dua hadits sahih tentang ism’, Rasulullah bersabda,
“Kemudian aku diangkat ke
Sidratul-Muntaha. Aku melihat daun-daunnya lebarnya seperti telinga
gajah, buahnya seperti punuk unta yang paling baik, dan ia memiliki
empat sungai. Sungai lahiriah dan sungai batiniah. Lalu aku bertanya
kepada Jibril, ‘Apa ini wahai Jibril?’ Jibril menjawab, ‘Sungai lahiriah
adalah sungai Nil dan Eufrat, sedangkan sungai batiniah adalah dua
sungai yang berada di surga.’ (HR Bukhari dan Muslim)
Dan dalam hadits di atas juga disebutkan,
“Kemudian aku dimasukkan ke dalam surga. Maka (kulihat) dinding surga itu terbuat dari mutiara dan tanahnya dari misk.”
Dalam shahih Bukhari dari Anas r.a. disebutkan bahwa Nabi saw. bersabda,
“Ketika aku berjalan di dalam surga,
aku berada di sungai yang kedua pinggirnya terbuat dari kubah yang
terbuat dari mutiara cekung. Lalu aku bertanya, ‘Apa ini Jibril?’ Jibril
menjawab, ‘Ini adalah al-kaustar yang diberikan kepadamu.’ Lalu
malaikat memukul dengan tangannya, maka kulihat tanahnya adalah parfum
dari minyak kasturi.” (HR Bukhari dan Ahmad)
Dalam sebuah hadits tentang shalat kusuf
yang terdapat dalam shahih Muslim, disebutkan bahwa ketika shalat Nabi
bergerak maju mundur. Kemudian setelah “Telah diperlihatkan kepadaku
surga dan neraka. Lalu surga didekatkan kepadaku, hingga seandainya aku
memetik satu buah dan surga itu, pasti aku dapat mengambilnya. Dan
seandainya aku mengambilnya, maka kalian akan makan darinya selama dunia
masih ada.”(HR Muslim dan Nasai)
Dalam shahih Muslim dari Ibnu Mas’ud r.a., yaitu tentang penafsiran firman Allah,
“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang terbunuh di jalan Allah itu mati! Tapi mereka hidup. Mereka diberikan rezek disisi Tuhannya.” (Ali Imran: 169)
Rasulullah saw. bersabda,
“Ruh mereka berada dalam perut
burung hijau yang memiliki lampu-lampu yang tergantung di Arsy. Mereka
terbang dari surga ke mana saja dihendakinya. Kemudian mereka kembali
berlabuh dalam lampu-lampu itu. Lalu Tuhanmu melihat keadaan mereka dan
berfirman, ‘Apakah kalian menginginkan sesuatu?’ Mereka menjawab, ‘Apa
lagi yang kami inginkan, sedangkan kami terbang dari surga kapan saja
kami hendaki.'” (HR Muslim dan Tirmidzi)
Dalam hadits shahih, dari hadits Ibnu Abbas r.a. disebutkan bahwa Rasulullah bersabda,
“Tatkala saudara-saudaramu terbunuh,
Allah menjadikan ruh mereka dalam perut burung hijau yang selalu
mendatangi sungai-sungai surga, makan dari buahnya, bernaung di bawah
lampu-lampu yang terbuat dari emas tergantung dalam payung Arsy. Tatkala
mereka merasakan kelezatan makanan, minuman, dan tempatnya, mereka
mengatakan, ‘Siapakah yang akan memberitakan kepada saudara-saudara kami
bahwa kami dalam surga, kami diberi rezeki supaya mereka tidak
segan-segan berjihad dan tidak menahan diri pada saat perang? Lalu Allah
menjawab, ‘Aku yang akan memberitahukan mereka tentang kalian-kalian.
‘Lalu Azza Wajalla berfirman, ‘Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang
yang terbunuh di jalan Allah ….'” (HR Ahmad)
Dalam kitab al-Muwaththa\ terdapat sebuah hadits dari Ka’ab bin Malik r.a., bahwa Rasulullah saw. bersabda,
“Sesungguhnya jiwa orang mukmin
dimakan seekor burung yang terbang di ■surga hingga Allah
mengembalikannya kepada jasadnya pada hari dibangkitkannya.” (HR Malik)
Dalam shahih Bukhari disebutkan bahwa ketika Ibrahim putra Rasulullah wafat, maka Rasulullah saw. bersabda,
”Ibrahim mempunyai seorang ibu yang menyusuinya di surga.” (HR Bukhari dan Ahmad)
Dalam Shahih Bukhari dari Imran bin Hushain r.a. disebutkan bahwa Rasulullah bersabda,
“Saya menengok ke surga. Saya
melihat sebagian besar penghuninya adalah para fakir. Kemudian saya
menoleh ke neraka dan saya melihat bahwa sebagian besar penghuninya
adalah kaum perempuan.” (HR Bukhari dan Ahmad)
Adapun atsar yang berkaitan dengan
masalah ini sangat banyak. Sedangkan, pendapat yang mengatakan bahwa
surga dan neraka belum diciptakan adalah pendapat para pengikut bid’ah,
yaitu kesesatan Mu’tazilah. Mereka mengatakan bahwa surga yang darinya
Adam diturunkan adalah surga yang berada di sebelah Timur dan Barat bumi
ini. Namun, hadits-hadits di atas dan semisalnya telah membantah
pendapat mereka.
Orang-orang tersebut mengatakan,
“Argumentasi kalian dengan segala bentuknya mengenai surga, dan bahwa
dalam surga di mana Adam a.s itu diturunkan darinya tidak ada perkataan
hina, dusta, cobaan, ketelanjangan dan sebagainya adalah benar, serta
tidak seorang pun dari umat Islam yang mengingkarinya.
Akan tetapi, surga itu hanya dimasuki
orang-orang mukmin kelak pada hari kiamat, sebagaimana ditunjukkan oleh
konteks ucapan tersebut. Dan, ini tidak menafikan apa yang dikisahkan
Allah SWT tentang kejadian antara Adam a.s. dan iblis yang berupa ujian
dan cobaan. Kemudian ketika orang-orang mukmin akan memasukinya, maka
kondisinya menjadi seperti apa yang disebutkan Allah Azza wa Jalla. Jadi
tidak ada pertentangan antara keduanya.”
Mereka yang berpendapat bahwa surga Adam
a.s. adalah surga yang abadi mengatakan, “Adapun pendapat kalian bahwa
surga adalah tempat pembalasan dan pahala, bukan tempat menerima taklif.
Padahal di dalamnya Allah SWT telah membebani Adam dengan larangan
mendekati pohon Khuldi. Jawaban bagi hal ini ada dua.
a) Surga tidak dapat menjadi tempat
pembebanan apabila dimasuki orang-orang mukmin pada hari kiamat. Pada
saat itu beban taklif terputus. Sedangkan, tidak terjadinya beban taklif
di dalam surga di kala dunia masih ada tidak ada dasarnya.
b) Beban taklif yang ada di dalam surga
Adam tersebut bukan dalam bentuk pekerjaan yang dibebankan kepada
manusia di dunia ini, seperti puasa, shalat dan semisalnya. Akan tetapi,
beban taklif tersebut hanya berupa larangan mendekati sebuah pohon yang
ada di dalamnya. Dan, ini tidak menjadi alasan bahwa kejadian tersebut
bukan di dalam surga yang abadi, sebagaimana di dalamnya setiap orang
dilarang mendekati istri orang lain.
Jika yang kalian maksud surga itu bukan
tempat menerima beban taklif sehingga tidak mungkin terjadi hal
tersebut, maka kalian tidak mempunyai dalil tentang kemustahilan itu.
Dan apabila yang kalian maksudkan adalah sebagian besar beban yang ada
di dunia tidak ada di dalamnya, maka hal itu benar, akan tetapi itu
tidak sejalan dengan keinginan kalian.
Mereka juga mengatakan bahwa pendapat
orang-orang yang mengatakan bahwa surga Adam tersebut bukan surga abadi
memerlukan dalil-dalil dan dukungan dari pendapat salaful ummah. Karena
menurut mereka tidak seorang ulama pun yang berpendapat demikian, maka
pendapat ini tidak dapat dipegang dan tidak layak untuk dilirik.”
Orang-orang yang mengatakan bahwa surga
Adam itu bukan surga abadi, berkata, “Jawaban atas apa yang kalian
sebutkan di atas terbagi menjadi dua; secara global dan terperinci.”
Pertama jawaban secara global, bahwa
sesungguhnya kalian sama sekali tidak menyebutkan satu dalil yang
menjadi dasar kokoh, baik dari Al-Qur’an, sunnah maupun atsar yang benar
dari sahabat dan tabi’in yang sanadnya bersambung maupun yang terputus.
Sekarang kami hadirkan salah seorang ulama terkemuka yang sependapat
dengan kami, yaitu Sufyan bin Uyainah ketika mengomentari firman Allah
SWT,
“Sesungguhnya kamu tidak akan kelaparan di dalamnya dan tidak akan telanjang.” (Thaahaa: 118)
Sufyan bin Uyainah berkata, “Di dalamnya
maksudnya di bumi.” Abdullah bin Muslim bin Qutaibah dalam kitabnya
al-Ma’arif, setelah menyebutkan penciptaan Adam a.s. dan istrinya, ia
berkata bahwa sesungguhnya Allah mengeluarkannya dari surga Aden yang
ada di ujung timur dunia ke bumi, tempat asal ia diambil. Hasan Bashri
menceritakan dari Ubai bin Ka’ab, bahwa tatkala Adam a.s. menjelang
ajal, dia menginginkan buah dari buah surga. Lalu anak-anaknya berangkat
mencarikan buah untuknya.
Di dalam perjalanan mereka bertemu
dengan malaikat. Malaikat itu bertanya, “Wahai anak-anak Adam mau
kemanakah kalian?” Mereka menjawab, “Ayah kami menginginkan buah dari
surga.” Malaikat itu berkata kepada mereka, “Kembalilah! Kalian sudah
cukup berbuat untuknya.” Mereka menghentikan pencarian sampai di situ,
lalu dicabutlah nyawa Adam a.s..
Kemudian mereka memandikannya, menaburi
tubuhnya dengan wangi-wangian dan mengkafaninya. Lalu Jibril dan
anak-anak Adam a.s. beserta para malaikat menshalatinya, kemudian
menguburkannya. Lalu para malaikat itu berkata, “Inilah yang harus
kalian lakukan terhadap jenazah kalian.”
Abu Shalih menukilkan penafsiran Ibnu
Abbas r.a. terhadap firman Allah, “Turunlah dari surga itu!”, bahwa ia
berkata, “Ini sama dengan jika kita mengatakan ‘Si fulan turun ke bumi
di wilayah ini dan di wilayah itu’.”
Wahab bin Munabbih menyebutkan bahwa
Adam a.s. diciptakan di bumi, di mana dia tinggal dan di dalamnya ada
Firdaus yang dibangun untuknya. Adam saat itu berada di ‘Aden. Dan
sungai Seihun, Jaihun dan Eufrat hulunya berasal dari sungai yang ada di
surga, dan Adamlah yang menyiraminya dengan air.
Inilah pendapat yang dipilih oleh Ibnu
Mundzir bin Sa’id al-Baluthi dalam kitab tafsirnya, dan didukung dengan
apa yang telah kami sebutkan darinya. Di luar tafsir, dia menyebutkan
pendapat Abu Hanifah yang berbeda dengan hal ini, lalu mengapa ia
mempunyai pendapat seperti di atas dalam masalah ini? Abu Muslim
al-Ashbahani, salah seorang pengarang tafsir dan kitab-kitab lainnya,
sependapat dengan Ibnu Mundzir. Abu Muslim mendukung dan membela
pendapatnya dengan berbagai dalil, sebagaimana terdapat dalam kitabnya.
Abu Muhammad Abdul Haq bin Athiyyah,
dalam tafsirnya menyebutkam dua pendapat mengenai kisah Adam pada surah
al-Baqarah. Abu Muhammad Ibnu Hazm juga menyebutkan dua pendapat dalam
kitabnya al-Milal wan-Nihal. Ibnu Hazm berkata, “Al-Mundzir bin Sa’id
al-Qadhi berpendapat bahwa surga dan neraka telah diciptakan, tapi
menurut al-Mundzir itu bukan surga tempat asal Adam a.s. dan istrinya.
Dan di antara orang yang menyebutkan tentang kedua pendapat tersebut
adalah Abu Isa ar-Rumani di dalam tafsirnya, dan dia memilih bahwa surga
Adam a.s. itu adalah surga yang abadi.”
Abu Isa ar-Rumani berkata, “Mazhab yang
kami pilih adalah pendapat Hasan Bashri, Amru bin Washil dan beberapa
ulama lainnya. Ini sebenarnya pendapat Abu Ali dan guru kami Abu Bakr,
dan itulah yang diikuti para ahli tafsir.”
Di antara ulama yang menyebutkan kedua
pendapat tersebut adalah Abul Qasim ar-Raghib dalam tafsirnya, ia
berkata, “Orang-orang berbeda pendapat tentang surga yang pernah
ditempati Adam. Sebagian ulama ahli kalam berkata, ‘Itu adalah kebun
yang dijadikan Allah sebagai ujian untuknya, bukan surga tempat
kembali.’
Barangsiapa yang berkata bahwa itu bukan
surga tempat kembali karena di surga tidak ada taklif sedangkan Adam
dibebani, maka jawabannya adalah bahwa pada akhirat kelak surga bukan
tempat pembebanan taklif, tapi tidak ada yang menghalangi bahwa surga
itu menjadi tempat taklif pada saat-saat tertentu sebelum hari akhir,
sebagaimana manusia diberi beban taklif pada waktu tertentu, dan tidak
ada beban taklif baginya pada waktulain.”
Di antara ulama yang menyebutkan
perbedaan pendapat dalam masalah ini adalah Abu Abdullah bin al-Khathib
ar-Razi. Di samping kedua pendapat di atas, dia menyebutkan pendapat
ketiga yaitu tidak memilih ini dan itu. Abu Abdullah bin al-Khathib
ar-Razi mengatakan bahwa tidak ada jalan untuk melakukan konsesi dan
tidak mungkin sampai kepada suatu kepastian, sebagaimana yang akan kita
lihat dari pendapatnya.
Di antara para mufassir juga ada yang
hanya menyebutkan satu pendapat. Yaitu bahwa surga itu bukan surga
kekekalan, tetapi ia adalah suatu tempat di bumi yang dikehendaki Allah
SWT. Mereka mengatakan bahwa matahari dan bulan terbit didalamnya, dan
iblis berada di dalamnya kemudian dikeluarkan darinya. Ar-Razi
mengatakan bahwa seandainya itu adalah surga yang abadi, maka iblis
tidak akan dikeluarkan darinya.
Di antara ulama yang menyebutkan kedua
pendapat tersebut adalah Abul Hasan al-Mawardi. Dia mengatakan dalam
kitab tafsirnya, “Orang-orang berbeda pendapat tentang surga yang
didiami Adam a.s., pendapat itu terbagi menjadi dua. (1) la adalah surga
abadi. (2) la adalah surga yang khusus dipersiapkan untuk Adam dan
Hawa, yang dijadikan Allah SWT sebagai tempat ujian, bukan surga
kekekalan yang merupakan tempat pembalasan.
Orang-orang yang mempunyai pendapat terakhir ini berbeda dalam dua hal.
(a) Surga dunia ini berada di langit, sebab Adam dan Hawa diturunkan dari sana. Ini adalah pendapat al-Hasan.
(b) Surga tersebut berada di bumi, karena Allah SWT menguji keduanya di dalamnya dengan melarang mereka mendekati satu pohon dari berbagai macam pohon yang ada. Ini adalah pendapat Ibnu Yahya. Semua ini terjadi setelah iblis diperintahkan untuk bersujud kepada Adam a.s.. Hanya Allah yang mengetahui kebenaran hal ini.”
(a) Surga dunia ini berada di langit, sebab Adam dan Hawa diturunkan dari sana. Ini adalah pendapat al-Hasan.
(b) Surga tersebut berada di bumi, karena Allah SWT menguji keduanya di dalamnya dengan melarang mereka mendekati satu pohon dari berbagai macam pohon yang ada. Ini adalah pendapat Ibnu Yahya. Semua ini terjadi setelah iblis diperintahkan untuk bersujud kepada Adam a.s.. Hanya Allah yang mengetahui kebenaran hal ini.”
Ibnul Khathib dalam tafsirnya berkata,
“Para ulama berbeda pendapat: apakah surga yang disebutkan dalam ayat
itu ada di bumi, atau berada di langit. Jika ia berada di langit, apakah
surga itu surga tempat pembalasan, surga kekekalan ataukah surga lain?”
Abul Qasim al-Bulkhi dan Abu Muslim
al-Ashbahani berpendapat bahwa surga tersebut berada di bumi. Ini
pendapat pertama. Sedangkan, turunnya Adam dan Hawa darinya
diinterpretasikan sebagai perpindahan dari suatu tempat ke tempat lain,
sebagaimana firman Allah SWT,
“Pergilah kamu ke suatu kotal” (al-Baqarah: 61)
Pendapat kedua adalah pendapat al-Jubbai
bahwa surga itu berada di langit ketujuh. Dia mengatakan bahwa dalil
untuk pendapat ini adalah firman Allah SWT, ‘Turunlah (kalian semua)!’
Al-Jubbai mengatakan bahwa peristiwa turun yang pertama adalah dari
langit ketujuh ke langit pertama, dan peristiwa turun yang kedua adalah
dari langit ke bumi.
Pendapat ketiga adalah pendapat
mayoritas ulama yang semazhab dengan kami, bahwa surga itu adalah tempat
menerima imbalan. Dalil atas pendapat ini adalah huruf alif dan laam
pada lafal al-jannah (surga) tidak memberikan arti umum, sebab
menempatkan Adam a.s. dalam semua surga adalah mustahil. Karena itu,
pengertiannya harus dialihkan kepada makna yang lazim. Dan makna jannah
yang dikenal di kalangan orang-orang muslim adalah tempat menerima
imbalan. Maka, mau tidak mau lafal tersebut harus dikembalikan kepada
makna ini.
Pendapat keempat adalah yang menyatakan
bahwa segala sesuatu mungkin saja terjadi. Sedangkan dalil-dalil naqli
yang ada, adalah lemah dan kontradiktif. Karena itu, kita harus menahan
diri dan tidak menyatakan pendapat secara pasti.
Mereka mengatakan, “Kami tidak mengikuti
salah satu dari pendapat tadi, dan kami tidak bersandar kepada yang
mereka sebutkan. Hanya dalil yang benar yang bisa menjadi pemutus bagi
orang-orang yang berselisih pendapat.”
Mereka juga mengatakan, “Kami telah
berbicara cukup tentang hal ini. Adapun jawaban secara terperinci, maka
kami akan berbicara berdasarkan dalil-dalil yang telah kalian sebutkan,
dengan harapan dapat mengungkap kebenaran. Kalian telah menyebutkan
sebuah dalil dari riwayat Abu Hurairah r.a. dan Hudzaifah r.a., yaitu
tatkala manusia berkata, ‘Wahai Adam, mintalah kepada Tuhan untuk
membukakan surga bagi kami!’ Lalu Adam a.s. menjawab, ‘Kalian keluar
dari surga adalah karena kesalahanku, bapak kalian.’Hadits ini tidak
menunjukkan bahwa surga yang mereka minta untuk dibukakan adalah surga
yang pernah ditempati Adam. Sebab jannah adalah nama untuk satu jenis,
di mana setiap kebun juga dinamakan dengan jannah. Seperti firman Allah
SWT,
‘Sesungguhnya Kami telah mencobai mereka sebagaimana Kami telah mencobai pemilik-pemilik kebun ketika mereka bersumpah bahwa mereka sungguh-sungguh akan memetik hasilnya di pagi hari.’ (al-Qalam: 17)
‘Dan mereka berkata, ‘Kami sekali-kali tidak percaya kepadamu hingga kamu memancarkan mata air dari bumi untuk kami, (al-lsraa: 90-91)
‘Dan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya karena mencari keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di daratan tinggi.’ (al-Baqarah: 265)
‘Dan berikanlah kepada mereka sebuah perumpamaan dua orang laki-laki. Kami jadikan di antara keduanya (yang kafir) dua buah kebun anggurdan Kami kelilingi keduanya dengan pohon-pohon korma….’
Hingga firman Allah,
‘Dan mengapa kamu tidak mengucapkan tatkala kamu memasuki kebunmu ‘Ma syaa Allaah, laa quwwata ilia billah’ (sungguh atas kehendak Allah semua ini terwujud, tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah).’ (al-Kahfi: 32-39)
Maka; sesungguhnya jannah adalah nama untuk jenis bukan nama benda tertentu. Saat manusia meminta Adam a.s. untuk memohon agar Tuhan membukakan pintu surga bagi mereka, Adam a.s. mengatakan bahwa ia tidak layak melakukan itu karena dia sendiri yang telah mengeluarkan dirinya dan keturunannya dari surga tersebut karena dosa dan kesalahannya. Inilah yang dimaksudkan dalam hadits di atas.
Hadits tersebut dari sisi manapun tidak menunjukkan bahwa surga yang diminta manusia untuk dibukakan adalah surga yang pernah ditempati Adam dan ia dikeluarkan darinya. Seandainya hadits ini menujukkan kepada hal tersebut, maka kita wajib kembali kepada pengertian hadits itu, dan tidak boleh mengambil pendapat
yang menyalahinya. Dan bukankah kita di sini hanya berbicara seputar maksud sabda Rasulullah saw.?”
Orang-orang yang berpendapat bahwa surga
Adam a.s. bukan surga abadi berkata lagi, “Adapun argumentasi kalian
bahwa lafal ‘al-hubuuth’ berarti turun dari tempat yang tinggi ke tempat
yang lebih rendah, maka jawabannya ada dua.
Pertama, Hubuuth terkadang mempunyai
arti berpindah dari satu tempat di ke tempat lainnya bumi. Hal ini
sebagaimana jika kita katakan, ‘Habatha fulaan balad kadzaa wa kadzaa’,
Si Man pindah dari satu tempat ke tempat lain. Allah SWT juga telah
berfirman,
‘Pergilah kalian ke suatu kota, pasti kamu memperoleh apa yang kalian minta (al-Baqarah: 61)
Hal ini banyak ditemukan dalam syair Arab seperti ungkapan di bawah ini,
‘Engkau singgah di suatu negeri yang kaumnya bersenang-senang di bawah pohon rindang yang berduri.’
Abu Saleh meriwayatkan dari Ibnu Abbas
r.a. bahwa dia berkata, ‘Sebagaimana orang Arab mengatakan, ‘Si fulan
pindah ke negeri ini dan sebagainya.” Kedua, kami tidak menentang kalian
bahwa ‘turun’ adalah sebuah makna hakiki sebagaimana yang telah kalian
sebutkan. Akan tetapi, apa alasan kalian sehingga surga Adam itu berada
di atas langit. Bukankah jika surga itu berada di atas bumi, maka benar
juga perkataan bahwa dia turun dari surga, sebagaimana jatuhnya batu
dari ketinggian gunung ke tempat rendah dan semisalnya? Adapun firman
Allah SWT,
‘Dan bagi kamu ada tempat kediaman di bumi dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan.’ (al-Baqarah: 36)
Ayat ini menunjukkan bahwa di dalam bumi
tempat mereka diturunkan, merupakan kediaman dan tempat kesenangan
hingga pada waktu tertentu. Dan, ini tidak menunjukkan bahwa mereka
berada di surga yang tinggi, yang lebih tinggi daripada bumi tempat
mereka diturunkan, yang karakternya berbeda dengan bumi, seperti
pepohonan, kenikmatan dan keindahannya. Allah SWT telah menerangkan
perbedaan antara satu wilayah dengan wilayah lain di bumi ini dengan
perbedaan yang sangat menonjol dan ini dapat disaksikan dengan
pancaindera.
Jadi dari mana kalian mengetahui bahwa
surga itu bukan surga yang berada di bumi, yang memiliki perbedaan
dengan permukaan bumi yang lain? Lalu Adam dan istrinya diturunkan dari
surga itu, ke bumi yang lain, yang merupakan tempat kelelahan, kerja
keras, cobaan, dan ujian. Dan, ini adalah jawaban atas argumentasi
kalian yang berdasarkan firman Allah SWT,
‘Sesungguhnya kalian tidak akan kelaparan di dalamnya dan tidak akan telanjang.’ (Thaahaa: 118)
Sampai kepada akhir argumentasi yang
kalian sebutkan. Karena ketentuan yang ada dalam ayat di atas adalah
tergantung pada suatu syarat, sedangkan syarat itu tidak terwujud. Allah
SWT menyebutkan hal itu setelah firman-Nya “Janganlah kamu berdua
mendekati pohon ini”, dan firman-Nya, “Sesungguhnya kamu tidak akan
kelaparan di dalamnya dan tidak akan telanjang”.
Kalimat dalam ayat ini adalah kata-kata
janji, yang terkait dengan kata-kata sebelumnya. Maknanya, jika kamu
menjauhi pohon yang telah Aku larang memakannya dan kamu tidak
mendekatinya, maka inilah janji-Ku untukmu. Sedangkan, ketentuan yang
tergantung pada suatu syarat akan hilang apabila syarat itu tidak ada.
Tatkala Adam memakan buah pohon itu, maka janji tersebut tidak
terwujud.”
Mereka juga berkata,’ Adapun perkataan
kalian bahwa seandainya surga itu ada di bumi, niscaya Adam a.s.
mengetahui kebohongan iblis dalam ucapannya, ‘Maukah kamu aku tunjukkan
pohon kekekalan dan kerajaan yang abadi?’ Ini adalah asumsi yang tidak
berdasar, karena tidak ada dalil yang kalian miliki yang mengatakan
bahwa saat Allah SWT menciptakan Adam, Dia telah memberitahunya bahwa
dunia ini akan binasa dan kerajaannya hanya sementara.
Taruhlah misalnya Adam telah diberitahu
tentang hal itu, maka perkataan iblis, ‘Maukah kamu aku tunjukkan pohon
kekekalan dan kerajaan yang abadi,’ tidak menunjukkan bahwa yang
diinginkan Iblis dengan al-khuld adalah sesuatu yang tidak berakhir.
Karena dalam bahasa Arab al-khuld adalah menempati sesuatu dalam jangka
waktu lama. Misalnya ucapan orang-orang Arab, ‘Ikatan mukhallad (yang
kekal) dan tawanan mukhallad (abadi).’ Allah SWT berfirman kepada kaum
Tsamud,
“Apakah kamu mendirikan pada tiap-tiap tanah tinggi bangunan untuk bermain-main dan kamu membuat benteng-benteng supaya kamu kekal di dunia?” (asy-Syu’araa: 128-129)
Demikian pula firman Allah SWT tentang kata-kata iblis, ‘Dan kerajaan yang tidak binasa’, yaitu kerajaan yang tetap langgeng.
Juga tidak ada alasan mentolerir ucapan
iblis dengan terbuktinya kedustaan kata-katanya dan sumpah dustanya
kepada Adam dan Hawa. Allah SWT telah memberitakan bahwa iblis bersumpah
dan menipu keduanya. Ini menunjukkan bahwa mereka berdua tertipu oleh
kata-kata dan janji iblis bahwa dia akan tinggal di tempat yang kekal
dan kerajaan yang abadi.
Maka berdasarkan hal di atas, dapat
dikatakan bahwa argumentasi tentang surga yang ditempati Adam adalah
surga yang abadi dan yang dijanjikan kepada orang-orang bertakwa adalah
tidak jelas. Dan kami katakan juga, seandainya surga Adam itu adalah
surga kekal yang kerajaannya tidak akan hancur, maka semua pepohonannya
adalah pohon khuldi. Sehingga, tidak ada kekhususan bagi pohon khuldi
dari pohon-pohon lain yang ada dalamnya. Adam pun akan mengolok iblis,
karena dia sendiri mengetahui bahwa surga itu adalah yang abadi.
Jika kalian mengatakan bahwa mungkin
saat itu Adam a.s. tidak mengetahui hal tersebut hingga iblis berhasil
memperdaya dan menipunya bahwa pohon itu adalah satu-satunya pohon
kekekalan, maka kami akan menjawab bahwa seandainya surga itu adalah
surga dunia, maka Adam pasti mengetahui kebohongan iblis dalam hal ini,
sebab perkataan iblis adalah tipu daya belaka. Maka, dengan segala
kemungkinan yang ada, dalil kalian akan menjadi bantahan atas kalian
sendiri. Wabillahi at-taufiq.”
Mereka berkata kembali bahwa adapun
ucapan kalian bahwa kisah Adam dalam surah al-Baqarah sangat jelas jika
surga Adam itu berada di atas langit, maka sekarang kami meminta kalian
menunjukkan hal ini, sedangkan kalian tidak ada cara untuk
menetapkannya. Dan perkataan kalian bahwa Allah mengulang kata turun
sebanyak dua kali, dan bahwa kata turun yang kedua maksudnya tidak sama
dengan yang pertama {turun yang pertama adalah dari surga dan turun yang
kedua adalah dari langit ke bumi), maka hal ini diperdebatkan kalangan
ahli tafsir.
Satu golongan sependapat dengan apa yang
kalian sebutkan, sedangkan kelompok lain, di antaranya adalah
an-Nuqqasy, mengatakan bahwa turun yang kedua adalah dari surga ke
langit dan yang pertama adalah dari langit ke bumi. Ini adalah peristiwa
turun yang terakhir, meskipun ia disebutkan lebih awal.
Dan kelompok yang lain mengatakan bahwa
kata turun yang kedua merupakan penegasan atas yang pertama, seperti
kalau Anda mengatakan kepada seseorang, “Keluar, keluar!” Akan tetapi
pendapat-pendapat tadi adalah lemah, dan pendapat yang pertama sangat
tampak kelemahannya dari beberapa aspek.
Pertama, pendapat tersebut adalah
sekedar klaim tanpa landasan dalil, baik dalam lafalnya maupun riwayat
yang dapat dijadikan dasar. Dan ayat-ayat Al-Qur’an tidak boleh
diarahkan untuk mendukung pendapat ini.
Kedua, sesungguhnya Allah SWT telah
menurunkan iblis berdasarkan takdir-Nya tatkala enggan sujud kepada Adam
a.s., sehingga iblis tidak bisa menghindar dari hal itu. Karena itu
Allah SWT berfirman kepadanya,
“Turunlah kamu dari surga itu karena kamu tidak sepatutnya menyombongkan diri di dalamnya, maka keluarlah. Sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang hina.” (al-A’raaf: 13)
“Keluarlah dari surga karena sesungguhnya kamu terkutuk dan sesungguhnya kutukan itu tetap menimpa kamu sampai hari kiamat.” (al-Hijr: 34-35)
“Keluarlah kamu dari surga itu sebagai orang terhina lagi terusir. Sesungguhnya barangsiapa di antara mereka mengikuti kamu, benar-benar Aku akan mengisi neraka Jahanam dengan kamu semuanya.” (al-A’raaf: 18)
Dalam ayat-ayat di atas tiada perbedaan
apakah kata ganti ini kembali kepada sama’ (langit) atau al-Jannah
(surga). Ini jelas menunjukkan penurunan, pengusiran, laknat, dan
penghinaan.
Berdasarkan hal ini, seandainya surga itu berada di atas langit, maka
iblis telah naik ke sana setelah ia dijatuhkan Allah SWT dari tempat
itu. Meskipun hal ini bisa terjadi, tetapi ini sangat jauh dari hikmah
Allah SWT, dan sama sekali tidak dimaksudkan oleh pemberitaan-Nya. Oleh
karena itu, pendapat ini tidak patut diambil.
Sedangkan, empat hal yang kalian
sebutkan tentang naiknya iblis ke surga untuk menyampaikan bisikannya
kepada Adam, jika dihadapkan dengan perintah Allah SWT untuk turun,
pengusiran-Nya, laknat-Nya dan penghinaan-Nya, maka semua yang kalian
sebutkan sama sekali tidak berdasarkan dalil, baik dari lafal maupun
dari riwayat yang bisa dijadikan pegangan. Jadi semua itu hanya
perkiraan-perkiraan yang tidak berdalil sama sekali.
Ketiga, konteks kisah turunnya iblis
atas perintah Allah SWT sangat jelas bahwa turunnya iblis adalah ke
bumi, hal ini berdasarkan beberapa alasan,
a) Allah SWT menyebutkan hikmah
diturunkannya iblis, yaitu karena ketakaburan yang mengharuskannya
dinistakan, diusir, dan diperlakukan dengan cara yang bertentangan
dengan keinginannya; dijatuhkan dari langit ke bumi. Hikmah Allah SWT
tidak menghendaki iblis tetap berada di atas langit dalam keadaan
sombong dan dengan sifat yang bertentangan dengan para malaikat.
b) Firman Allah SWT,
“Maka keluarlah dari surga. Sesungguhnya kamu itu terkutuk dan laknat-Ku kepadamu sampai hari kiamat.” (Shaad: 77-78)
Maka, keberadaan iblis yang terlaknat
dan terkutuk menafikan ia tetap di langit, di antara makhluk-makhluk
suci yang dekat dengan Allah SWT.
c). Allah berfirman,
“Keluarlah dari surga dalam keadaan hina lagi terusir.” (al-A’raaf: 18)
Sedangkan, alam langit tidak bisa dicapai oleh yang tercela dan terhina.
Pendapat kedua adalah sama dengan
pendapat yang pertama, hanya saja ia memiliki tambahan yang kontek
kalimatnya sama sekali tidak menunjukkan hal tersebut. Yaitu,
mendahulukan sesuatu yang kejadiannya terakhir dan mengakhirkan sesuatu
yang terjadi lebih dahulu. Karena itu, pendapat ini dibantah dengan
jawaban yang sama untuk pendapat terdahulu..
Sedangkan pendapat yang ketiga, yaitu
bahwa pengulangan ini hanya untuk penegasan, apabila yang dimaksudkan
hanyalah penegasan leksikal, maka hal seperti ini tidak terjadi dalam
Al-Qur’an. Dan jika yang diinginkan adalah untuk menambah ketegasan dan
pemantapan dengan berbagai faedah yang terkandung di dalamnya, maka itu
bisa dibenarkan.
Adapun interpretasi yang benar bagi
pengulangan tersebut adalah karena penurunan yang kedua dihubungkan
dengan sesuatu di luar penurunan yang pertama. Ihbaath yang pertama
adalah dikaitkan dengan ketetapan bahwa sebagian dari mereka saling
bermusuhan dengan sebagian yang lainnya. Sebab itu Allah berfirman,
“Turunlah kamu Sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain.” (al-Baqarah: 36)
Kalimat dalam ayat di atas menjelaskan
kondisi (al-hal) dari suatu hal. Dan menurut sebagian besar ulama,
kalimat ini adalah kalimat ismiyyah (bentuk kalimat yang tersusun dari
subyek dan predikat) karena ada kata ganti (dhamiir). Maka, makna ayat
tersebut adalah ‘Turunlah kalian dalam keadaan bermusuh-musuhan!’
Sedangkan penurunan yang kedua, dikaitkan dengan dua ketetapan, yang
pertama bahwa mereka semua harus turun, dan yang kedua adalah firman
Allah SWT,
“Kemudian jika datang petunjuk-Ku kepadamu, maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak pula mereka bersedih hati.” (al-Baqarah: 38)
Seakan-akan dikatakan kepada mereka,
“Turunlah kalian dengan syarat ini, dan kalian akan dimintai
pertanggungjawabannya atas syarat tersebut, meskipun datang kepada
kalian petunjuk dari-Ku. Maka barangsiapa di antara kalian yang mengikut
petunjuk-Ku, mereka tidak akan ketakutan dan merasa sedih.”
Jadi penurunan pertama merupakan
pemberitahuan tentang sanksi dan akibat dari kejahatan yang mereka
lakukan. Sedangkan, penurunan kedua adalah menyampaikan berita baik dan
menghibur dengan akibat baik dari penurunan ini bagi orang yang
mengikuti petunjuk Allah SWT, dan mereka akan menuju kepada keselamatan
dan kegembiraan, yang merupakan lawan dari ketakutan dan kesedihan.
Maka, pertama Allah SWT membuat mereka
sedih dengan penurunan pertama, dan Dia menghibur orang-orang yang
mengikuti petunjuk-Nya dengan peristiwa turun yang kedua, sebagaimana
kebiasaan dan kelembutan Allah SWT kepada hamba-hamba-Nya yang taat.
Sebagaimana Dia telah membuat Adam a.s. bersedih dengan mengeluarkannya
dari surga, kemudian menghiburnya dengan kata-kata yang disampaikan
kepada Adam a.s., lalu Dia mengampuninya dan memberinya hidayah.
Barangsiapa merenungkan kelembutan dan
kebaikan Allah SWT kepada hamba-hamba-Nya yang taat, serta hikmah-Nya
dalam menimpakan kesusahan kepada mereka, lalu menghilangkan kesusahan
itu; dan merenungkan bagaimana Dia menyusahkan mereka dengan berbagai
bencana dan ujian, lalu menyembuhkannya dengan kesehatan dan kenikmatan,
maka akan terbuka baginya pintu-pintu pengetahuan dan kecintaan kepada
Allah SWT.
Dia akan mengetahui bahwa Allah SWT
lebih sayang kepada hamba-hamba-Nya daripada kasih sayang seorang ibu
kepada anaknya. Dan, ia pun tahu bahwa kesusahan itu sendiri tidak lain
adalah bentuk dari kasih sayang dan kebaikan Tuhannya, karena Allahlah
yang paling tahu tentang kemaslahatan hamba-Nya.
Akan tetapi, karena kelemahan ilmu dan
pengetahuan hamba terhadap Asmaa’ul-Husna dan sifat-sifat-Nya, maka
mereka hampir tidak mengetahui hal ini.
Keridhaan, kedekatan, kebahagiaan, dan
kegembiraan karena berada di sisi yang dicintai tidak akan diperoleh
kecuali dengan merendahkan dan menunjukkan kelemahan diri. Hanya dengan
ini semua cinta dapat tumbuh dan kokoh, dan tidak ada jalan untuk sampai
kepada yang tercinta kecuali dengan itu. Hal ini sebagaimana dikatakan
seorang penyair,
“Merendahlah di sisi orang yang
engkau cintai, agar engkau dekat dengannya Betapa banyak kemuliaan yang
diperoleh seseorang karena merendahkan diri Jika yang kau cintai sangat
mulia, dan engkau tidak merendahkan diri kepadanya Maka ucapkanlah
selamat tinggal kepada hubunganmu dengannya.”
Ada juga yang berkata,
“Tundukkan dan rendahkan dirimu kepada orang yang engkau cinta
karena dalam aturan cinta tiada kata rujuk yang dapat dilepas dan diikat
kembali.”
Yang lain berkata,
“Tidak akan berbahagia orang yang mulia karena suatu hubungan karena kemuliaan itu tidak lain dari kerendahan dan kehinaannya.”
Orang-orang yang mengatakan bahwa surga
Adam a.s. bukan surga abadi berkata, “Jika diketahui bahwa iblis diusir
dari surga setelah dia menolak dan enggan sujud kepada Adam a.s., maka
pastilah bisikannya kepada Adam dan istrinya bukan di tempat asal dia
diturunkan. Wa Allah wa’alam.”
Orang-orang tersebut juga mengatakan,
“Adapun pendapat kalian bahwa lafal jannah didefinitifkan dengan huruf
alif dan laam, serta pengertiannya hanya mengarah kepada surga yang
dikenal anak cucu Adam, maka hal itu memang tidak disangsikan. Akan
tetapi, alif dan laam tersebut juga ada dalam firman Allah SWT kepada
Adam a.s. agar ia menempati surga,
‘Tinggallah kamu bersama istrimu di surga (al-Baqarah: 35)
Jadi surga itu adalah yang ditempati
oleh Adam a.s.. Kemudian ketika Allah SWT memberitahu kita tentang surga
tersebut, Dia menyebutnya secara definitif. Maka, kata al-jannah (surga
itu) yang disebut secara definitif tersebut jelas mengarah kepada surga
yang dibayangkan oleh otak manusia, yaitu surga yang telah ditempati
Adam a.s..
Maka dalam hal ini, dari mana kita
mengetahui hal yang menunjukkan ada atau tidaknya tempat dan posisi
surga itu? Sedangkan, lafal al-jannah (surga) yang disebutkan dalam
bentuk definitif adalah surga yang diberitakan para rasul kepada
umat-umat mereka dan yang dijanjikan Allah Yang Maha Pengasih kepada
hamba-hamba-Nya secara gaib. Apabila kata surga ini disebutkan, maka
otak manusia hanya akan membayangkan surga yang dijanjikan Tuhan
tersebut. Dan, hal ini sudah mengakar dalam hati serta pikiran manusia.
Dalam Al-Qur’an juga disebutkan kata jannah yang berarti sebuah kebun di
muka bumi. Misalnya firman Allah,
Sesunguhnya Kami telah mencobai mereka sebagaimana Kami telah mencobai pemilik-pemilik kebun, ketika mereka bersumpah bahwa mereka sungguh-sungguh memetik hasilnya di pagi hari.’ (al-Qalam: 17)
Ayat di atas tidak mengarahkan pikiran kepada surga abadi, dan tidak pula kepada surga Adam a.s..”
Mereka juga berkata, “Pernyataan kalian bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah sepakat jika surga dan neraka itu sudah diciptakan, dan yang membantah itu adalah orang-orang yang berbuat bid’ah serta kesesatan, juga bahwa surga saat ini sudah ada, semua ini adalah benar. Kami tidak menentang kalian dalam hal ini, bahkan kami mempunyai dalil yang lebih banyak dari apa yang kalian sebutkan.
Mereka juga berkata, “Pernyataan kalian bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah sepakat jika surga dan neraka itu sudah diciptakan, dan yang membantah itu adalah orang-orang yang berbuat bid’ah serta kesesatan, juga bahwa surga saat ini sudah ada, semua ini adalah benar. Kami tidak menentang kalian dalam hal ini, bahkan kami mempunyai dalil yang lebih banyak dari apa yang kalian sebutkan.
Akan tetapi, apa hubungannya antara
kenyataan surga abadi itu telah diciptakan dengan pernyataan bahwa surga
itu adalah surga Adam a.s.? Seakan-akan kalian menganggap bahwa setiap
orang yang mengatakan surga Adam a.s. itu ada di atas bumi, maka mereka
juga berpendapat bahwa surga dan neraka belum diciptakan.
Ini adalah sebuah kesalahan yang
disebabkan anggapan bahwa setiap orang yang mengatakan surga itu belum
diciptakan, maka mereka juga berpendapat bahwa surga Adam berada di atas
bumi. Demikian pula sebaliknya, bahwa setiap orang yang mengatakan
bahwa surga Adam itu di bumi, maka mereka juga mengatakan bahwa surga
itu belum diciptakan.
Masalah pertama bahwa surga dan neraka
telah diciptakan tidak diragukan lagi kebenarannya.
Tapi masalah kedua
adalah anggapan belaka, yang antara keduanya tidak ada hubungan sama
sekali, baik menurut mazhab kami maupun menurut dalil yang ada. Kalian
menggunakan dalil kalian untuk suatu kelompok yang kita sama-sama
sepakat menolak dan membantahnya. Akan tetapi, dengan hal itu tidak
musti pendapat bahwa surga Adam bukan surga abadi adalah salah, dan ini
jelas.
Adapun pendapat kalian bahwa semua yang
ditiadakan Allah SWT dari surga (seperti kesia-siaan, penderitaan dan
segala cela yang sebagian berasal dari iblis), hanya akan terwujud kelak
sesudah kiamat. Yaitu, di saat orang-orang mukmin memasukinya
sebagaimana yang ditunjukkan oleh konteks kalimatnya. Maka bantahan atas
pernyataan ini ada dua.
(1). Berita tersebut secara implisit mengarah kepada penafian semua cela secara mutlak, sesuai dengan firman Allah SWT,
“Tidak menimbulkan kata-kata yang tidak berfaedah dan tidak pula perbuatan dosa.'(ath-Thuur: 23)
Dan firman Allah SWT,
Dan firman Allah SWT,
“Tidak kamu dengar di dalamnya perkataan yang tak berguna.” (al-Ghaasyiyah: 11)
Ini adalah peniadaan secara mutlak yang
hanya bisa dikecualikan dengan dalil yang jelas dari Allah SWT. Allah
SWT telah menetapkan bahwa surga itu adalah surga kekekalan secara
mutlak, sehingga ia tidak dimasuki kecuali oleh yang kekal. Sebab itu,
pengkhususan yang kalian buat bahwa surga yang kekal itu adalah surga
yang ada sesudah kiamat, jelas menyalahi makna lahir ayat.
(2). Pendapat kalian bahwa surga yang
kelak dimasuki mukmin adalah surga Adam a.s., bisa diyakini kebenarannya
jika tidak ada dalil lain yang menentang dalil kalian. Sedangkan jika
ada dalil lain yang menentang dan umat Islam tidak sepakat atas pendapat
kalian, maka tidak dibenarkan keluar dari makna nash-nash yang sangat
jelas. Wallahu a’lam.”
Mereka juga berkata, “Adapun yang
menunjukkan bahwa surga itu bukan surga abadi yang dijanjikan Allah SWT
kepada orang-orang bertakwa adalah tatkala Allah SWT menciptakan Adam
a.s. Dia memberitahukan kepadanya bahwa umurnya memiliki batas akhir dan
dia tidak diciptakan untuk hidup kekal. Hal yang menunjang pendapat ini
adalah sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Tirmidzi dalam bukunya
al-Jami’. Dia mengatakan bahwa Muhammad bin Basyar meriwayatkan dari
Shafwan bin Isa, dari al-Harits bin Abdurrahman bin Abu Ziyad, dari
Sa’id bin Sa’id al-Maqburi dari Abu Hurairah r.a., bahwa Rasulullah saw.
bersabda,
” Tatkala Allah SWT menciptakan Adam
dan meniupkan ruh ke dalamnya, Adam bersin. Lalu dia berkata,
‘Albamdulillah ya Rab.’Allah SWT berkata kepadanya, ‘Yarhamukallah ya
Adam!’ Lalu berfirman, ‘Pergilah kepada sekelompok malaikat yang sedang
duduk itu dan katakan kepada mereka, ‘Assalaamu ‘alaikum.’ Lalu mereka
menjawab, ‘Wa ‘alakas-salaam.’ Kemudian dia kembali kepada Tuhannya,
lalu Tuhannya berkata, ‘Sesungguhnya itulah salammu dan salam
anak-anakmu
Allah SWT berfirman kepadanya dan
Tangan-Nya tergenggam, ‘Pilihlah salah satu yang engkau inginkan!’ Dia
menjawab, ‘Saya memilih Tangan Kanan Tuhanku dan kedua Tangan Tuhanku
adalah Tangan Kanan yangpenuh berkah.’ Kemudian Allah SWT
membentangkannya dan terlihatlah di dalamnya Adam dan anak cucunya. Adam
berkata, ‘Ya Tuhan, siapa mereka itu?’ Allah SWT menjawab, ‘Mereka itu
adalah anak keturunanmu.’ Maka setiap orang sudah ditentukan umurnya di
depan kedua matanya.
Tiba-tiba muncul di Tangan-Nya
terlihat orang yang paling bercahaya. Lalu Adam bertanya, ‘Ya Tuhan,
siapakah ini?’ Allah SWT menjawab, ‘Ini anakmu Daud dan telah Aku
tetapkan umurnya empat puluh tahun.’ Adam berkata, ‘Tambahkan umurnya ya
Tuhan!’ Allah menjawab, ‘Itulah yang telah Aku tetapkan untuknya.’ Adam
lalu berkata, ‘Ya Tuhan aku serahkan enam puluh tahun dari umurku
untuknya.’ Allah SWT berfirman, ‘Terserah kamu.’
Kemudian Adam menempati surga sesuai
kehendak Allah SWT, kemudian ia diturunkan dan surga itu. Adam pernah
menghitung umurnya dan ketika itu Malakul-Maut mendatanginya. Lalu Adam
berkata kepadanya, ‘Engkau mempercepatnya! Bukankah telah ditetapkan
untukku seribu tahun?’ Malaikat itu menjawab, ‘Ya, tapi engkau telah
memberikan enam puluh tahun kepada anakmu, Daud.’ Maka Adam
mengingkarinya dan anak cucunya pun mengingkarinya. Adam lupa maka anak
cucunya pun lupa. Sejak had itu penulisan dan saksi diperintahkan.”
Hadits ini jelas sekali menunjukkan
bahwa Adam a.s. tidak diciptakan dalam tempat yang kekal, di mana orang
yang memasukinya tak akan mati. Akan tetapi, dia diciptakan di tempat
yang fana, yang dijadikan batas akhir baginya dan bagi penghuninya, dan
di sanalah Adam tinggal. Jika Adam sudah mengetahui bahwa dia memiliki
batas umur dan tidak kekal, maka bagaimana dia tidak mendustakan iblis,
padahal dia tahu kesalahan iblis ketika berkata,
“Apakah engkau mau aku tunjukkan pohon kekekalan dan kerajaan yang tidak binasa ?” (Thaahaa: 120)
Mengapa Adam justru mempercayai
kata-kata iblis tersebut dan memakan pohon itu karena ingin hidup kekal?
Maka jawabannya ada dua, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. Boleh
jadi yang dimaksud oleh iblis dengan kekekalan adalah menetap dalam
kurun waktu yang lama, bukan untuk selamanya. Atau ketika iblis
bersumpah kepadanya dan kepada istrinya, dia lupa bahwa dia mempunyai
batas umur, sehingga dia tergoda dan tertipu dengan kekekalan di dalam
surga. Mereka mengatakan bahwa yang menjadi dasar bagi hal ini adalah
firman Allah SWT,
“Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang khalifah di muka bumi.” ( al-Baqarah: 30)
Khalifah yang dimaksud dalam ayat di
atas adalah Adam a.s., sebagaimana disepakati semua orang. Dan tatkala
para malaikat merasa heran dengan penciptaan itu, mereka berkata,
“Mengapa Engkau hendak menjadikan seorang khalifah di bumi itu, orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau.” (al-Baqarah: 30)
Allah SWT memberitahukan kepada para
malaikat bahwa khalifah yang akan Dia ciptakan di bumi tidak seperti
yang mereka kira, yaitu suka berbuat kerusakan. Bahkan, Allah
memberitahu mereka bahwa Adam a.s. memiliki pengetahuan yang tidak
mereka miliki. Lalu Allah SWT mengajarkan kepada Adam semua nama-nama.
Kemudian mengajukan pertanyaan kepada para malaikat tentang nama-nama
tersebut dan mereka tidak. mengetahuinya.
Dan firman Allah,
“Mereka berkata, ‘Maha Suci Engkau ya Allah. Kami tidak mengetahui kecuali apa yang Engkau telah ajarkan kepada kami. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.'” (al-Baqarah: 32)
Ini menunjukkan bahwa khalifah yang
telah Allah SWT beritahukan kepada para malaikat dan telah Allah SWT
perlihatkan keutamaan serta kemuliaannya kepada mereka, dan Allah telah
mengajarkan kepadanya apa yang tidak para malaikat ketahui adalah
khalifah yang diciptakan di atas bumi, bukan di atas langit.
Jika dikatakan bahwa firman Allah,
Jika dikatakan bahwa firman Allah,
“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” (al-Baqarah: 30)
Berarti bahwa Aku akan membuatnya
tinggal di bumi karena itulah tempat tinggalnya dan tempat yang dia
tuju. Maka, ini tidak menafikan keberadaan Adam dalam surga kekekalan di
atas langit pada awal penciptaan. Kemudian dia berjalan menuju bumi
untuk menjadi pemegang kekhilafahan. Dan isim fa’il (yang menunjukkan
pelaku) dalam kata jaa ‘Hun pada ayat ini memiliki makna masa mendatang.
Karena itu, obyeknya di-nashab-kan (berharkat fathah).
Maka jawaban atas hal ini adalah,
“Sesungguhnya Allah SWT memberitahukan kepada para malaikat-Nya bahwa
Dia menciptakan Adam untuk menjadi khalifah bumi, bukan untuk menempati
surga yang abadi, dan perkataan Allah SWT adalah benar. Malaikat juga
tahu bahwa itu adalah Adam. Seandainya Adam ditempatkan dalam surga
abadi yang ada di atas langit, maka malaikat tidak akan bertanya, dan
tidak ada pemberitahuan dari Allah SWT. Mereka juga tidak membutuhkan
penjelasan tentang keutamaan, kemuliaan, dan pengetahuan Adam,
sebagaimana terkandung dalam jawaban Allah SWT atas pertanyaan mereka,
‘Apakah Engkau akan menjadikan orang yang akan berbuat kerusakan dan menumpahkan darah (al-Baqarah: 30)
Sesungguhnya para malaikat mengajukan
pertanyaan ini adalah untuk khalifah yang dijadikan di bumi. Sedangkan,
tentang orang yang berada di surga kekekalan di atas langit, maka tidak
akan terbayang oleh malaikat bahwa mereka berbuat kerusakan dan
pertumpahan darah di bumi. Juga tidak perlu adanya informasi tentang
keutamaan, kemuliaan, dan pengetahuan Adam yang berada di atas langit,
sebagai bantahan dan jawaban atas pertanyaan mereka.
Tapi yang terjadi Allah SWT menjawab
pertanyaan mereka dan menampakkan apa yang bertentangan dengan anggapan
mereka, yaitu keutamaan dan kemuliaan Adam dalam kapasitasnya sebagai
khalifah di bumi. Malaikat menyangka bahwa Adam hanya akan berbuat
kerusakan dan pertumpahan darah. Dan, hal ini sangat jelas bagi orang
yang merenungkannya.
Adapun isimfa’ilja’ilun, meskipun ia
menunjukkan hal mendatang, namun ini adalah informasi tentang apa yang
akan dilakukan Tuhan di masa mendatang yaitu menciptakan khalifah di
bumi, Allah SWT telah memenuhi janji-Nya dan telah terjadi apa yang Dia
beritakan. Ini jelas bahwa dari pertama Allah SWT menjadikan Adam
sebagai khalifah di muka bumi. Sedangkan, penafsiran lain bahwa pada
awalnya Allah SWT menempatkan Adam di langit kemudian menjadikannya
khalifah di bumi.
Meskipun ini tidak menafikan
pengangkatan sebagai khalifah itu, tetapi lafal ayat di atas sama sekali
tidak menunjukkan hal itu, Bahkan, yang tersurat dari ayat tersebut
bertentangan dengan hal itu. Oleh karena itu, penafsiran ini tidak dapat
dibenarkan, kecuali ada dalil yang mengharuskan kita kembali kepada
penafsiran tersebut. Dan sebagaimana kita ketahui bahwa yang tidak
ditentang oleh seorang muslim pun adalah bahwa Allah SWT menciptakan
Adam dari tanah, dan tidak diragukan lagi bahwa tanah tersebut adalah
tanah bumi ini. Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi
dalam kitab al-Jami’ dari hadits Auf dari Qasamah bin Zuhair, dari Abu
Musa al-Asy’ari r.a., ia berkata bahwa Nabi saw. bersabda,
”Sesungguhnya Allah menciptakan Adam
dari segenggam tanah yang diambil dari semua unsur bumi. Maka, lahirlah
Adam sesuai dengan sifat bumi. Karena itu ada yang merah, putih, hitam,
dan warna lain di antara warna-warna itu.’ (HR Tirmidzi)
Ada juga yang lembut, keras, jahat dan baik.”
Imam Tirmidzi berkata bahwa hadits ini
adalah hadits hasan shahih. Imam Ahmad meriwayatkan hadits di atas dalam
kitab al-Musnad dari berbagai jalur.
Allah juga telah memberitakan bahwa Adam
diciptakan dari sari tanah (sulaalah) yang berasal dari tanah liat
(thiin). Dia juga mengabarkan bahwa Adam diciptakan dari tanah keras
(shalshaal) yang berasal dari lumpur hitam Qiamaa” masnun). Dikatakan
bahwa shalshaal adalah tanah kering sebelum dimasak, yang jika dipukul
mengeluarkan suara, dan setelah dimasak ia berubah menjadi fakhkhaar
(tembikar).
Dikatakan juga bahwa shalshaal adalah
benda yang mengalami perubahan bau, yaitu dari bahasa Arab shalla, jika
bau sesuatu berubah busuk. Dan al-hamaa” adalah tanah hitam yang
berubah-rubah bentuk, dan al-masnuun adalah yang dituangkan, dari kata
‘sanantu al-ma’ artinya saya menuangkan air. Dan, dikatakan juga bahwa
al-masnun berasal dari kata ‘sanantu al-hajara ‘alal-ardhi’ artinya aku
menggosokkan batu itu dengan tanah. Jika ada sesuatu yang keluar dari
batu itu, maka yang itu disebut sanin dan zat yang keluar itu pasti
berbau busuk.
Semuanya ini merupakan fase-fase tanah
sebagai pembentukan awal manusia, sebagaimana Allah SWT menggambarkan
tentang penciptaan keturunan Adam dari setetes air, segumpal darah dan
segumpal daging. Dan ini adalah keadaan setetes air mani yang merupakan
bahan dasar keturunan manusia. Allah tidak menyebutkan bahwa Dia
mengangkat Adam dari bumi ke langit, baik sebelum maupun sesudah
penciptaannya.
Allah hanya menginformasikan tentang
perintah-Nya kepada para malaikat untuk sujud kepada Adam, tentang
keberadaan Adam di dalam surga serta peristiwa yang terjadi antara dia
dan Iblis sesudah diciptakan. Maka, Allah memberitakan tiga hal dalam
satu susunan yang saling terkait antara satu sama lainnya. Lalu di
manakah dalil yang menunjukkan bahwa bahan penciptaan Adam dinaikan ke
surga setelah diciptakan? Dalam hal ini kalian sama sekali tidak
memiliki dalil, juga tidak ada kesimpulan dari firman Allah SWT yang
dapat mendukung pendapat kalian.
Mereka mengatakan, “Sebagaimana
diketahui bahwa apa yang ada di atas langit bukan tempat untuk tanah
liat bumi yang berubah dan baunya menjadi busuk karena perubahan itu.
Tempat materi seperti itu adalah bumi ini, yang merupakan tempat
perubahan dan kerusakan. Sedangkan benda yang berada di atas langit
tidak mengalami perubahan, berbau busuk, dan rusak. Dan, ini adalah hal
yang tidak diragukan oleh orang-orang yang berakal.”
Allah berfirman,
Allah berfirman,
“Adapun orang-orang yang berbahagia, maka tempatnya di dalam surga. Mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain) sebagai karunia yang tidak ada putus-putusnya.” (Huud: 108)
Dalam ayat di atas Allah memberitakan
bahwa pemberian yang ada di dalam surga kekekalan tidak akan terputus.
Sedangkan, apa yang Dia berikan kepada Adam a.s. telah terputus, maka
surga Adam itu bukalah surga kekekalan.
Tidak diperdebatkan lagi bahwa Allah SWT menciptakan Adam di bumi. Dalam
kisah penciptaan Adam, Allah SWT tidak menyebutkan bahwa Dia
memindahkannya ke langit. Seandainya Allah SWT memindahkanya ke langit,
maka hal itu lebih perlu untuk disebutkan. Karena, itu merupakan
kenikmatan yang sangat agung, serta sebab keutamaan dan kemuliaannya
yang sangat besar.
Di samping itu, hal tersebut lebih
mengena dalam menjelaskan tanda-tanda kekuasaan, rububiyyah, dan
hikmah-Nya. Juga lebih tepat dalam menjelaskan akibat dari kemaksiatan,
yaitu diturunkan dari langit, tempat tujuan dia diangkat sebelumnya,
sebagaimana yang disebutkan Allah SWT mengenai iblis. Karena tidak satu
huruf pun dalam Al-Qur’an dan Sunnah yang menjelaskan bahwa dia
dipindahkan dan diangkat ke langit setelah diciptakan di bumi, maka
diketahui bahwa surga yang dia tempati bukan surga kekekalan yang berada
di atas langit.
Mereka juga mengatakan, “Allah SWT telah
memberitakan dalam Kitab-Nya bahwa Dia tidak menciptakan
hamba-hamba-Nya dengan sia-sia dan main-main, Dia juga membantah orang
yang memiliki prasangka seperti itu. Hal ini menunjukkan bahwa anggapan
tersebut bertentangan dengan hikmah-Nya. Seandainya surga Adam adalah
surga kekekalan, maka manusia tentu telah diciptakan di tempat di mana
mereka tidak diperintah dan dilarang. Dan hal ini adalah batil,
sebagaimana firman Allah SWT,
‘Apakah manusia mengira bahwa dia dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggungjawaban).’ (al-Qiyaamah: 36)
Imam Syafi’i dan ulama lain mengatakan, ‘Secara sia-sia artinya tidak diperintah dan tidak dilarang.’
Allah SWT berfirman,
Allah SWT berfirman,
‘Maka apakah kamu mengira bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main saja. (al-MiTminuun: 115)
Jadi Allah SWT tidak menciptakan mereka
secara main-main dan tidak membiarkan mereka tanpa tanggung jawab,
padahal di dalam surga kekekalan tidak ada beban pertanggungjawaban.”
Mereka mengatakan, “Allah menciptakan surga kekekalan sebagai pahala bagi orang-orang yang berbuat baik, sebagaimana firman-Nya,
‘Itulah sebaik-baik pahala orang-orang yang beramal.’ (al-‘Ankabuut: 58)
Dan surga adalah balasan bagi orang-orang yang bertakwa, sebagaimana firman Allah SWT,
‘Dan itulah sebaik-baik tempat bagi orang-orang yang bertakwa.’ (an-Nahl: 30)
la juga tempat menerima pahala sesuai firman Allah,
‘Sebagai pahala di sisi Allah (Ali ‘lmran:195)
Jadi tidak ada yang akan menempati surga
kekekalan itu kecuali orang-orang beramal saleh dan orang-orang
bertakwa, beserta anak-cucu mereka yang mengikuti mereka serta para
bidadari. Secara umum dikatakan bahwa hikmah Allah menghendaki bahwa
surga tidak akan diperoleh kecuali setelah melalui cobaan, ujian,
kesabaran, perjuangan, dan berbagai ketaatan. Apabila ini adalah
tuntutan hikmah Allah SWT, maka Allah tidak akan melakukan sesuatu
kecuali apa yang sejalan dengan hikmah-Nya.
Allah menciptakan Adam di surga, dan
menjadikannya khalifah di muka bumi. Iblis menggodanya di tempat mana
dia ditempatkan setelah iblis diturunkan dari langit. Allah SWT
memberitahu para malaikat bahwa Dia akan menjadikan seorang khalifah di
bumi. Didalam surga tidak ada ucapan sia-sia dan tidak ada dosa. Orang
yang memasukinya selamanya tidak akan keluar dari sana. Orang yang
memasukinya akan merasa bahagia dan tidak sengsara. la juga tidak akan
merasa takut dan sedih.
Allah mengharamkannya atas orang-orang
kafir dan musuh Allah. Surga itu adalah tempat menerima nikmat, bukan
tempat cobaan, ujian dan hal-hal yang bertentangan dengan sifat surga
yang abadi yang berbeda dengan surga yang ditempati Adam. Jika semua
pemberitaan Allah SWT dikumpulkan dan dianalisa secara sadar serta
objektif, tanpa ada kecenderungan untuk membela pendapat tertentu, maka
kebenaran akan nampak. Wallaahul-musta’an.”
Adapun orang-orang yang berpendapat
bahwa surga Adam a.s. adalah surga kekalan, maka mereka mengatakan,
“Menurut salaful-ummah dan para ulamanya, serta menurut Ahlussunnah wal
Jama’ah, surga tersebut adalah surga kekekalan. Sedangkan, orang yang
mengatakan bahwa itu adalah sebuah surga di dunia yang berada di India
atau Jeddah atau selainnya, merupakan pendapat para filsuf, orang ateis
dan Mu’tazilah atau para ulama kalam yang membuat-buat bid’ah. Pendapat
tersebut dikatakan oleh para filsuf dan ulama Mu’tazilah, sedangkan
Al-Qur’an membantah pendapat ini. Salaful-ummah dan para ulamanya
menyepakati kesalahan pendapat ini.”
Allah berfirman,
“Dan ingatlah tatkala Kami berfirman kepada para malaikat, ‘Sujudlah kamu kepada Adam,’ maka sujudlah mereka kecuali Iblis. Dia enggan dan takabur. Dia itu adalah termasuk golongan orang-orang yang kafir. Dan Kami berfirman, ‘Hai Adam, diamilah oleh kamu dan istrimu surga ini dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik di mana saja yang kamu sukai dan janganlah kamu dekati pohon ini yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim.’ Lalu keduanya digelincirkan oleh setan dari surga itu dan dikeluarkan dari keadaan semula dan Kami berfirman/Turunlah kamu! Sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain, dan bagi kamu ada tempat kediaman di bumi dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan.” (al-Baqarah: 34-36)
Allah SWT telah memberitahukan bahwa Dia
memerintahkan Adam, Hawa dan iblis untuk turun ke bumi, dan bahwa
mereka akan hidup bermusuh-musuhan. Kemudian Allah berfirman, “Dan bagi
kalian di bumi tempat kediaman dan kesenangan hidup sampai waktu yang
ditentukan.” Ini jelas bahwa sebelumnya mereka tidak berada di bumi,
tetapi mereka diturunkan ke bumi.
Karena itu seandainya mereka berada di
bumi, lalu berpindah dari bumi itu ke bumi yang lain yang menjadi
kediaman mereka hingga waktu tertentu, seperti kaum Nabi Musa a.s., maka
ini adalah pendapat yang tidak benar.
Allah SWT-menceritakan tentang ucapan iblis,
“Saya lebih baik daripadanya. Engkau menciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah.’ Allah berfirman, ‘Turunlah kamu dari surga itu karena kamu tidak sepatutnya menyombongkan diri di dalamnya, maka keluarlah, sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang hina.” (al-A’raaf: 12-13)
Dalam ayat tersebut, Allah SWT
menjelaskan kekhususan surga yang ada di langit, yang berbeda dengan
surga yang ada di bumi, dikarenakan iblis tidak dilarang takabur dalam
surga dunia. Dan kata ganti dalam firman Allah SWT ‘darinya’, merujuk
kepada surga yang sudah ketahui oleh semua orang, meskipun lafalnya
tidak disebutkan, karena hal itu sudah dimaklumi bersama.
Ini berbeda dengan firman Allah SWT,
“Pergilah kamu ke suatu kota, pasti kamu memperoleh apa yang kamu minta.” (al-Baqarah: 12-13)
Di sini Allah SWT tidak menyebutkan
tempat asal dari mana mereka turun (pergi). Dia hanya menyebutkan arah
tujuan kepergian mereka. Ini berbeda dengan peristiwa turunnya iblis, di
mana Allah SWT menyebutkan tempat asal turunnya, yaitu surga. Allah
juga menyebutkan bahwa turunnya itu adalah dari atas ke bawah.
Sedangkan, Bani Israel kala itu berada di atas bukit al-Surrat
al-Musyarrafah di daerah Mesir yang merupakan tujuan kepergian mereka.
Orang yang turun dari gunung ke lembah, dikatakan kepadanya, “Turunlah!”
Jadi Bani Israel dulu datang dan pergi dari bukit tersebut.
Orang yang berjalan dan bepergian jika
mendatangi suatu negeri dikatakan ‘nazalafiha’ (turun di sana), karena
biasanya orang itu berkendaraan dalam perjalanan. Jika dia sampai di
sana, maka dia turun dari tunggangannya. Dikatakan ‘nazala al-‘aduwwu bi
ardhin kadza’ (musuh itu turun ke negeri itu) dan ‘nazala al-qaflu’
(kafilah itu turun). Lafal nuzuul sama dengan lafal hubuuth. Karena itu,
keduanya tidak pernah dipakai kecuali jika arahnya dari atas ke bawah.
Allah SWT berfirman,
“Turunlah, sebagian dari kamu adalah
musuh atas sebagian yang lain. Di bumi itu tempat kediaman kamu dan
kesenangan sampai waktu tertentu.”
Lalu Allah berfirman,
“Di dalamnya kamu hidup, mati dan darinya kamu keluar.” (al-A’raaf: 25)
Ini merupakan dalil bahwa mereka
sebelumnya tidak berada pada suatu tempat, di mana mereka hidup, mati,
dan keluar. Dalam Al-Qur’an sangat jelas disebutkan bahwa mereka berada
di tempat tersebut (bumi) setelah diturunkan.
Seandainya dalam masalah ini hanya ada
kisah Adam a.s. dan Musa a.s., maka itu sudah cukup menjadi bukti
pendapat kami. Dalam kisah tersebut Musa a.s. mengecam Adam a.s. karena
kesusahan dan kesulitan yang menimpa keturunannya karena ia dikeluarkan
dari surga. Seandainya surga Adam a.s. tersebut adalah sebuah taman di
bumi, pasti Allah SWT akan menggantikannya dengan taman lain yang juga
ada di bumi. Padahal tidak pantas bagi Musa a.s. jika ia mencela Adam
a.s. hanya karena dia dan keturunannya di keluarkan dari sebuah taman di
bumi.
Demikian juga ucapan Adam a.s. pada hari
kiamat di saat manusia memintanya agar dia memohon Tuhan untuk
membukakan pintu surga. Kala itu Adam a.s. berkata, “Bukankah kalian
dikeluarkan darinya karena satu kesalahan bapak kalian ini?” Ini jelas
bahwa surga itu adalah surga kekekalan. Adam merasa tidak layak memohon
kepada Allah membukakan pintu surga itu kepada mereka. Karena dialah
penyebab mereka dikeluarkan dari surga itu. Maka, ini merupakan dalil
yang sangat jelas.
Orang-orang yang berpendapat bahwa surga
Adam a.s. adalah di bumi mengatakan, “Adapun ucapan kalian bahwa orang
yang mengatakan surga Adam itu ada di bumi adalah dari kalangan filsuf,
ateis dan Mu’tazilah atau dari rekan-rekan mereka, maka kami mendapati
orang-orang yang berkata demikian yang bukan dari golongan tersebut.
Kesamaan pendapat pengikut pemikiran
yang batil dengan pendapat orang mengikuti kebenaran, tidak menunjukkan
kebatilan pendapat tersebut. Dan, dinisbatkannya suatu pendapat kepada
orang-orang yang mengikuti kebatilan, tidak mengharuskan kesalahan
pendapat itu, selama bukan hanya pendapat mereka. Jika yang kalian
maksudkan adalah bahwa yang berpendapat seperti itu hanyalah mereka,
maka itu keliru. Dan, jika yang kalian maksudkan adalah bahwa mereka itu
termasuk orang yang berpendapat demikian, maka hal tersebut sama sekali
tidak berguna bagi kalian.
Adapun perkataan kalian bahwa
salaful-ummah sepakat atas kesalahan pendapat ini, maka kami meminta
kalian untuk menunjukkan riwayat yang shahih dari salah seorang sahabat
dan orang-orang setelah mereka tentang hal ini. Lebih bagus lagi jika
menyebutkan tentang kesepakatan mereka. Dari kalangan sahabat, tabi’i
dan tabi’it-tabi’in tidak didapatkan satu riwayat yang benar, baik yang
jalan periwayatannya bersambung, syaadzu, maupun yang masyhur25 yang
mengatakan bahwa Nabi saw. pernah bersabda bahwa Allah SWT menempatkan
Adam dalam surga kekekalan, yang menjadi tempat orang-orang bertakwa
pada hari kiamat kelak.”
Al-Qhadhi Mundzir bin Sa’id meriwayatkan
dari beberapa kalangan salaful-ummah bahwa surga Adam a.s. itu bukan
surga kekekalan. Lalu al-Qadhi Mundzir bin Sa’id berkata, “Kami katakan
kepada kalian bahwa Abu Hanifah, faqih Irak, dan orang-orang yang
sependapat dengannya pernah berkata bahwa surga Adam bukan surga
kekekalan, dan mereka bukanlah orang-orang yang orang cacat reputasinya,
bahkan mereka adalah para ulama yang ilmu-ilmunya memenuhi buku-buku.”
Kami juga telah menyebutkan pendapat
Ibnu Uyainah tentang masalah ini. Ibnu Mazin dalam dalam tafsirnya
mengatakan, “Saya pernah bertanya kepada Ibnu Nafi’ tentang surga,
apakah ia telah diciptakan? Ibnu Nafi’ menjawab, ‘Diam dalam hal ini
adalah lebih baik.’ Maka seandainya Ibnu Nafi’ berpendapat bahwa surga
yang ditempati Adam adalah surga kekekalan, maka dia tidak akan
ragu-ragu mengatakan bahwa surga telah diciptakan, ia juga tidak akan
menahan diri untuk berpendapat dalam masalah ini.”
Ibnu Qutaibah berkata dalam kitabnya
Gharibul-Qur’an ketika berbicara tentang firman Allah SWT dalam surah
al-Baqarah ayat 38, “Dan Kami berfirman, ‘Turunlah keduanya dari (surga
itu!)’ bahwa dalam riwayat Abu Shalih dari Ibnu Abbas r.a. ia mengatakan
bahwa arti ayat ini sebagaimana dikatakan habatha fulaan ardha kadza wa
kadza (Si Fulan pindah dari daerah ini ke daerah ini).” Ibnu Qutaibah
dalam kitabnya hanya menyebutkan pendapat ini. Maka manakah ijma’
salaful-ummah tentang surga Adam a.s. itu? Adapun argumentasi kalian
yang berdasarkan firman Allah SWT,
“Dan bagi kalian di bumi itu tempat kediaman.” (al-A’raaf: 24)
Setelah firman-Nya “Turun!”, maka ini
tidak menunjukkan bahwa mereka sebelumnya tinggal di surga kekekalan,
karena ada salah satu pendapat dalam permasalahan ini yang mengatakan
bahwa surga tersebut ada di langit, bukan surga kekekalan. Ini
sebagaimana disebutkan oleh al-Mawardi dalam tafsirnya yang telah kami
paparkan sebelumnya. Dan firman Allah SWT, “Dan bagi kalian di bumi
tempat kediaman,” menunjukkan bahwa telah disediakan bagi mereka sampai
pada waktu tertentu suatu kediaman di bumi yang terpisah dari surga, dan
ini sudah pasti, karena surga juga memiliki bumi. Allah SWT berfirman
tentang penduduk surga,
“Dan mereka mengucapkan, ‘Segala puji bagi Allah yang telah memenuhi janji-Nya kepada kami dan telah memberi kepada kami tempat ini sedang kami diperkenankan menempati tempat di dalam surga di mana saja yang kami kehendaki. Maka, surga itulah sebaik-baik balasan bagi orang yang beramal” (az-Zumar: 74)
Ini menunjukkan bahwa maksud dari
firman-Nya, “Dan bagi kalian di bumi ini tempat kediaman,” adalah bumi
yang kosong dari surga tersebut, bukannya segala sesuatu yang dinamakan
bumi. Tempat kediaman mereka yang pertama adalah bumi sebuah surga.
Kemudian mereka di pindah di bumi tempat cobaan dan ujian. Lalu pada
hari pembalasan orang-orang mukmin juga akan berada di bumi surga. Maka
ayat ini tidak menunjukkan bahwa surga Adam a.s. adalah surga kekekalan.
Dan ini adalah jawaban atas argumentasi kalian yang berdasarkan firman
Allah SWT,
“Allah berfirman, ‘Di dalamnya kalian hidup, di dalamnya kalian mati dan dari situ kalian keluar.'” (al-A’raaf: 25)
Yang dimaksud dalam ayat ini adalah bumi
ke mana mereka diturunkan, dan dijadikan kediaman bagi mereka sebagai
ganti surga itu. Ayat ini adalah penafsiran kata al-mustaqar yang
disebutkan dalam surah al-Baqarah dengan disertai penjelasan tentang
dikeluarkannya Adam dan Hawa dari surga. Adapun firman Allah SWT kepada
iblis,
“Turun dari surga. Kamu tidak layak takabbur di dalamnya.” (al-A’raaf: 13)
Pendapat kalian bahwa yang dimaksud ayat
ini adalah surga yang ada di langit. Karena jika bukan, tentu iblis
tidak akan dilarang takabbur di dalamnya. Maka ini adalah dalil yang
mendukung pendapat kami, Karena surga kekekalan tidak bisa dimasuki
iblis dan ia tidak boleh berlaku takabbur di dalamnya.
Allah SWT telah memberitakan bahwa iblis
membisikkan godaan, membohongi, menipu, mengkhianati, menyombongkan
diri, dan dengki kepada Adam dan istrinya. Ketika iblis melakukan itu
semua. Adam dan Hawa berada di dalam surga. Maka, ini menunjukkan bahwa
surga ini bukanlah surga kekekalan, dan mustahil bagi iblis untuk naik
lagi ke surga sesudah diturunkan dan dikeluarkan darinya.
Kata ganti (nya) dalam firman Allah SWT,
“Turunlah darinya!”, bisa saja kembali kepada langit, sebagaimana yang
ada dalam salah satu pendapat. Atas dasar ini, maka Allah SWT telah
menurunkan iblis dari langit setelah ia tidak mau sujud. Allah SWT juga
memberitakan bahwa dia tidak boleh takabbur di dalamnya. Namun, kemudian
dia takabbur, berbohong, dan mengkhianat di dalam surga.
Ini menunjukkan bahwa surga Adam itu
tidak berada di atas langit. Atau kata ganti (nya) ini kembali kepada
surga, berdasarkan satu pendapat lain. Dan dari pendapat ini, surga di
mana Adam diperdaya, ditipu, dan disumpah palsu oleh iblis, tidak harus
surga yang dia dari sana. Akan tetapi, Al-Qurvan menunjukkan bahwa surga
itu adalah surga yang lain, sebagaimana yang telah kami sebutkan.
Berdasarkan dua taksiran ini, maka surga
tempat peristiwa antara Adam dan iblis bukanlah surga kekekalan. Adapun
perkataan kalian bahwa Bani Israel dulu berada di pegunungan as-Surrah
al-Musyarrafah, yang mana mereka pergi, berpindah dan berangkat darinya,
sehingga dikatakan kepada mereka ihbithu! (turunlah kalian!), maka
penjelasan ini benar adanya, dan kami tidak membantah kalian dalam hal
ini. Bahkan, penjelasan ini sendiri merupakan jawaban kami. Karena
sesungguhnya kata al-hubuuth menunjukkan bahwa surga itu berada di
tempat yang lebih tinggi dari bumi tempat mereka diturunkan. Sedangkan
jika yang kalian maksud adalah surga kekekalan, maka kami tidak setuju.
Perbedaan antara firman Allah SWT
“ihbithuu mishran” dengan “ihbithuu minha” adalah bahwa kalimat pertama
menunjukkan akhir dan tujuan perjalanan. Sedangkan kalimat kedua
menunjukkan asal dan awal perjalanan yang tidak ada pengaruhnya terhadap
kondisi kita sekarang. Karena jika seseorang turun dari suatu tempat ke
tempat lain, itu mengandung makna perpindahan dari suatu tempat yang
tinggi menuju tempat yang rendah. Maka, tentunya tidak ada pengaruh bagi
permulaan dan akhir tujuan dalam penentuan tempat turun, bahwa surga
itu adalah surga kekekalan?
Kisah Musa a.s. dan kecamannya terhadap
Adam karena dia dikeluarkan dari surga, itu tidak menunjukkan bahwa
surga tersebut adalah surga kekekalan. Dan, pendapat kalian bahwa tidak
terlintas dalam benak seseorang jika Musa a.s. mengecam Adam a.s. hanya
karena dia membuat dirinya dan anak-cucunya keluar dari sebuah taman
yang ada di bumi, adalah suatu pelecehan yang tidak berguna sama sekali.
Apakah kalian mengira bahwa itu adalah sebuah taman yang sama dengan
taman-taman yang berpetak-petak yang menjadi tempat kerusakan,
kelelahan, kerja keras, kehausan, pengolahan tanah, penyiraman,
perkawinan tanaman, dan segala bentuk kerja yang berhubungan dengan
pengolahan taman-taman ini?
Tidak diragukan bahwa Musa a.s. lebih
tahu dan tidak layak baginya mengecam Adam a.s. hanya karena ia
mengakibatkan dirinya dan keturunannya keluar dari sebuah taman yang
keadaannya seperti ini. Akan tetapi jika surga tersebut tidak tersentuh
kekurangan, tidak terputus buah-buahannya, tidak kering
sungai-sungainya, penghuninya tidak merasa lapar dan dahaga, mereka
tidak terkena sengatan panas matahari, tidak telanjang, tidak ditimpa
kelelahan, tidak dituntut kerja keras, dan tidak menderita, maka orang
yang menyebabkan dia dikeluarkan dari surga seperti itulah yang pantas
mendapatkan celaan.
Adapun kata-kata Adam a.s. pada hari
kiamat kepada orang-orang bahwa kesalahannya yang menyebabkan ia
dikeluarkan dari surga sehingga ia tidak pantas meminta dibukakan pintu
surga itu untuk mereka, maka ini tidak menjadi suatu kemestian bahwa
surga itu adalah tempat asal dia dikeluarkan. Akan tetapi, apabila surga
yang diminta orang-orang untuk dibukakan itu bukan surga asal Adam a.s.
dikeluarkan, maka hal ini lebih tepat dan lebih mengena. Karena jika ia
dikeluarkan dari surga selain surga kekekalan sebab suatu kesalahan,
maka bagaimana ia pantas memohon dibukakan surga kekekalan dan memberi
syafaat di dalamnya.
Demikianlah pendapat kedua golongan
tersebut, dan itulah akhir dari argumenatsi-argumentasi yang mereka
ajukan. Maka, barangsiapa yang memiliki keunggulan pengetahuan mengenai
masalah ini, hendaknya dia bersungguh-sungguh dalam membahasnya, karena
saat ini kesungguhan itu sangat dibutuhkan. Barangsiapa yang menyadari
batas kemampuan dan kadar keilmuannya, maka hendaknya dia menyerahkan
permasalahan ini kepada ahlinya dan hendaknya dia tidak membiarkan orang
lain menghina dan meremehkannya.
Hendaknya dia menjadi mata-mata dalam
peperangan, jika dia tidak memiliki keahlian dalam berperang, menyerang,
bertanding, dan memainkan senjata. Karena dalam medan ini para
pemberani telah bertemu, pedang saling menusuk, dan ruang gerak sudah
sempit.
“Jika orang-orang yang ksatria itu telah
bertemu, maka bagaimana nasib orang-orang lemah yang ada di
tengah-tengah ? Inilah kumpulan dari argumentasi kedua kelompok yang
melintas di depanmu dan digiring ke arahmu. Inilah barang dagangan para
ulama yang mereka tawarkan di tengah pasar yang sepi, bukan di pasar
yang laris. Barangsiapa yang sama sekali tidak memiliki piranti untuk
menjelaskan dan menganalisa masalah ini, maka jangan sampai tidak
membenarkan atau memberi maaf kepada orang yang telah mencurahkan
usahanya dan menumpahkan kemampuannya.
Hendaknya jangan sampai ia rela melihat
dirinya mengalami nasib yang paling buruk dan paling rendah. Yaitu,
pertama tidak mengetahui kebenaran dan wasilah-wasilahnya, kedua
memusuhi pemilik dan pencari kebenaran tersebut. Jika keinginanmu
terlalu sulit dan jarang, seperti sahabat yang mau memberi nasehat dan
pandai, maka pergilah dengan cita-citamu di tengah orang-orang mati.
Dan, kamu harus belajar dari Maha Gurunya Nabi Ibrahim.
Dalam pembahasan ini telah kami sebutkan
riwayat-riwayat, dalil-dalil, dan poin-poin menarik, yang kemungkinan
tidak didapatkan dalam buku-buku lainnya. Hanya para penulis unggul yang
mengetahui nilai dari apa yang telah kami paparkan tadi.
Hanya kepada Allah SWT kami memohon
pertolongan, bertawakal, dan bersandar. Sesungguhnya tidak akan merugi
orang yang bertawakal kepada-Nya, dan Dia tidak akan menyia-nyiakan
orang yang berlindung serta menyerahkan urusannya kepada-Nya. Hanya
Dialah Penolong kami dan Dialah sebaik-baik Pelindung.
penulis : Ibnu Qayyim
Posting Komentar